Pada hari Selasa (07/10/2025) sore itu, langit di Desa Angkinang Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), berwarna biru keabu-abuan. Angin sore berembus lembut melewati halaman depan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 HSS, membawa aroma tanah dan dedaunan basah.Â
Di tengah suasana yang tenang, sekelompok siswa tampak berlari lincah di lapangan. Mereka berlatih futsal---menendang bola, berteriak memberi aba-aba, lalu tertawa lepas setelah gol tercipta.Â
Di sisi lapangan, seorang bocah kecil duduk di atas pembatas semen, diam namun matanya berbinar. Tangannya menggenggam sesuatu, entah batu kecil atau sekadar penopang rasa gugupnya sendiri.Â
Pandangannya tak lepas dari bola yang terus berpindah di antara kaki para pemain. Ada semangat yang tak bersuara dari dirinya.Â
Ia tidak ikut bermain, tapi dalam tatapan itu tersimpan keinginan besar---mungkin suatu hari nanti, ia akan berdiri di lapangan yang sama, mengenakan seragam biru, dan ikut meneriakkan semangat bersama para kakak yang kini dikaguminya.Â
Dalam diam, bocah itu sedang belajar: belajar bermimpi. Dan mungkin, di sanalah awal dari segala hal hebat dimulai---dari rasa kagum sederhana yang tumbuh menjadi tekad.Â
Madrasah memang bukan sekadar tempat belajar membaca dan menulis. Ia adalah ruang di mana mimpi-mimpi kecil menemukan pijaknya. Di mana anak-anak bukan hanya diajari ilmu, tetapi juga diperkenalkan pada harapan dan perjuangan.Â
Setiap sorotan mata, setiap langkah di lapangan, setiap tawa selepas jatuh dan bangkit lagi---semuanya adalah potongan kecil dari pendidikan kehidupan itu sendiri. Dan sore itu, di tepi lapangan sederhana madrasah kami, sebuah mimpi kecil sedang tumbuh diam-diam. (ahu)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI