Oleh: Ahmad Syaifullah
Kondisi ketahanan pangan Indonesia menunjukkan tren perbaikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak masa pandemi. Meski demikian, capaian tersebut belum mampu menempatkan Indonesia melampaui rata-rata regional di kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan data Global Food Security Index (GFSI) tahun 2022 yang dirilis oleh The Economist Group (www.impact.economist.com) , skor ketahanan pangan Indonesia tercatat sebesar 60,2. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode awal pandemi, namun masih berada di bawah rata-rata global (62,2) dan tertinggal dari rata-rata  Asia Pasifik (63,4).
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian (Kementan) telah menggulirkan sejumlah program strategis untuk memperkuat ketahanan pangan nasional menuju tahun 2025. Program-program prioritas tersebut mencakup peningkatan produktivitas sektor pertanian dan perikanan, optimalisasi lahan, serta diversifikasi konsumsi pangan. Langkah ini diharapkan dapat menjamin tersedianya pangan yang cukup, terjangkau, dan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat.
GFSI menilai ketahanan pangan berdasarkan empat Indikator utama: keterjangkauan (affordability), ketersediaan (availability), kualitas dan keamanan pangan (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation). Dalam aspek keterjangkauan, Indonesia menunjukkan kinerja terbaik. Negara ini menempati posisi ke-44 secara global dan ke-9 di kawasan Asia Pasifik, menunjukkan bahwa harga pangan relatif terjangkau bagi masyarakat Indonesia.
Tingginya peringkat Indonesia dalam aspek keterjangkauan ditopang oleh beberapa indikator penting, antara lain penurunan rata-rata biaya makanan, rendahnya proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan global, serta keberadaan program jaring pengaman pangan. Bahkan, pada indikator program jaring pengaman pangan, Indonesia memperoleh skor sempurna 100, mencerminkan keberhasilan intervensi pemerintah untuk menjaga akses masyarakat terhadap pangan.
Namun pada Indikator ketersediaan, Indonesia justru menunjukkan kinerja yang lemah. Negara ini berada di peringkat ke-84 secara global dan ke-23 di Asia Pasifik. Ini mengindikasikan tantangan besar dalam menjamin kecukupan dan kontinuitas pasokan pangan nasional. Akses terhadap input pertanian yang rendah (skor 33,6) serta minimnya investasi pada penelitian dan pengembangan (skor 25,7) menjadi dua titik lemah utama yang memerlukan perhatian khusus.
Indikator kualitas dan keamanan pangan juga menghadirkan catatan yang beragam. Indonesia mencatat skor tinggi dalam indikator keamanan pangan, yakni 85,7. Namun, skor sangat rendah terlihat dalam indikator keberagaman pola makan (dietary diversity), hanya 34,6. Peringkat Indonesia dalam indikator ini sangat rendah, yaitu ke-109 dari 113 negara, yang menandakan ketergantungan masyarakat pada jenis pangan tertentu, terutama beras dan makanan tinggi karbohidrat.
Indikator keberlanjutan dan adaptasi merupakan aspek paling lemah dalam indeks ketahanan pangan Indonesia. Dalam Indikator ini, Indonesia hanya berada di peringkat ke-83 secara global dan ke-15 di kawasan Asia Pasifik. Dua indikator dengan skor terendah adalah pengelolaan air (27,6) dan komitmen politik terhadap adaptasi perubahan iklim (28), yang keduanya dinilai sangat lemah dan memerlukan perbaikan segera.
Komitmen politik terhadap adaptasi perubahan iklim menjadi indikator krusial yang mencerminkan kesiapan kebijakan pemerintah dalam menghadapi risiko perubahan iklim. Indonesia berada di peringkat ke-98 dari 113 negara dalam aspek ini. Ketidakhadiran strategi pertanian cerdas iklim dan lemahnya sistem peringatan dini menjadi hambatan utama dalam menciptakan ketahanan pangan yang berorientasi jangka panjang.
Dalam indikator kecukupan pasokan (sufficiency of supply), Indonesia menempati posisi ke-85 secara global. Meski mengalami kemajuan dibandingkan tahun 2012, skor dalam indikator ini justru menunjukkan penurunan dalam dua tahun terakhir. Penurunan ini mengindikasikan bahwa ketahanan pasokan pangan nasional belum cukup kuat untuk mengatasi dinamika permintaan dan potensi krisis produksi.