Oleh: Ahmad Syaifullah
Pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia akhirnya sepakat menerapkan tarif baru sebesar 19% terhadap produk ekspor Indonesia yang masuk ke AS. Kesepakatan ini dicapai pada Juli 2025, setelah sebelumnya AS mengancam akan menaikkan tarif hingga 32% jika tidak ada kesepakatan sebelum Agustus.
Bagi konsumen di Amerika Serikat, kabar ini cukup melegakan. Dengan tarif yang tetap nol persen untuk produk dari AS ke Indonesia, harga barang impor dari Indonesia tidak akan melonjak tinggi. Barang-barang buatan Amerika Serikat yang diekspor ke Indonesia tidak dikenakan tarif tambahan. Sehingga, produsen AS tetap bisa menjual ke Indonesia dengan harga yang kompetitif dan tidak perlu menaikkan harga jual ke konsumen dalam negeri karena tidak ada tarif balasan. Tapi, di sisi lain, beberapa pengusaha dan distributor di AS khawatir pasokan dari Indonesia bisa terganggu karena produsen Indonesia harus menanggung biaya lebih besar.
Dampak yang paling terasa justru dialami oleh pelaku usaha Indonesia. Dengan adanya tarif 19% ini, harga jual produk Indonesia di pasar AS bisa menjadi lebih mahal, sehingga daya saingnya menurun. Produk-produk seperti tekstil, sepatu, makanan olahan, dan barang elektronik bisa terkena dampak besar.
Berdasarkan data dari USTR dan US Census Bureau, pada tahun 2024, Amerika mengimpor barang dari Indonesia senilai 28,1 miliar dolar AS, dan mengekspor ke Indonesia senilai 10,2 Miliar Dolar AS. Artinya, Indonesia memiliki surplus perdagangan terhadap AS sebesar hampir 18 Miliar Dolar. Surplus ini dianggap terlalu tinggi oleh AS, dan menjadi alasan utama diterapkannya tarif baru tersebut.
Dalam 5 tahun terakhir, data perdagangan Indonesia-AS terus meningkat. Pada tahun 2020, ekspor AS ke Indonesia hanya sekitar 7,3 Miliar Dolar, sementara impor dari Indonesia mencapai 20,1 Miliar Dolar. Puncaknya terjadi di tahun 2022, saat nilai impor AS dari Indonesia mencapai lebih dari 34,5 Miliar Dolar, dan defisit perdagangan AS menembus 24,7 Miliar Dolar.
Melihat tren ini, AS ingin menyeimbangkan neraca dagangnya. Dengan tarif 19%, mereka berharap produk lokal AS bisa lebih kompetitif. Namun, hal ini jadi tantangan baru bagi eksportir Indonesia, terutama UMKM dan pelaku usaha yang mengandalkan pasar ekspor. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengupayakan jalan tengah. Dalam kesepakatan tersebut, Indonesia diberi akses untuk membeli pesawat Boeing dan produk energi dari AS dengan harga lebih bersaing. Hal ini disebut sebagai bentuk kompensasi dari tarif yang dikenakan. Selain itu, Presiden Prabowo Subianto juga sedang menjalin kerja sama baru dengan Uni Eropa agar ekspor Indonesia bisa lebih luas, tidak hanya bergantung pada pasar Amerika. Jika perjanjian ini berhasil, maka pelaku usaha Indonesia punya alternatif pasar lain untuk produk mereka.
Bagi konsumen Indonesia sendiri, tarif 19% ini mungkin tidak berdampak langsung. Namun dalam jangka panjang, jika ekspor melemah dan produksi menurun, maka bisa saja terjadi pengurangan tenaga kerja atau naiknya harga bahan baku di dalam negeri. Jika produk Indonesia jadi lebih mahal di pasar AS karena tarif tersebut, maka permintaan ekspor bisa menurun. Akibatnya, pabrik atau perusahaan akan mengurangi produksi karena penjualan ke luar negeri menurun. Bila produksi menurun, perusahaan bisa mengurangi jumlah pekerja (PHK atau tidak memperpanjang kontrak) untuk menekan biaya operasional. Selain itu, permintaan bahan baku dalam negeri juga bisa menurun, membuat harga bahan baku menjadi tidak stabil, bahkan bisa naik jika pasokan terganggu atau biaya produksi jadi lebih mahal.
Kespekatan  tarif ini bisa menurunkan volume ekspor Indonesia dalam jangka pendek. Pelaku usaha perlu segera beradaptasi, baik dengan menyesuaikan harga, meningkatkan kualitas, atau mencari pasar baru di luar Amerika. Sementara itu, konsumen di AS bisa sedikit lebih tenang karena tidak ada kenaikan besar pada harga barang Indonesia, setidaknya dalam waktu dekat. Tapi jika pasokan terganggu, maka harga tetap bisa naik, terutama pada produk-produk tekstil, furniture, dan makanan ringan dari Indonesia.
Menurut data dari World Bank melalui portal WITS dan UNCTAD TRAINS, Indonesia masih memiliki tarif rata-rata yang cukup rendah secara global, hanya sekitar 1,88%. Namun, dengan diberlakukannya tarif 19% dari AS, Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menjaga daya saing produknya.