Oleh: Ahmad Syaifullah
Data terbaru dari Bank Dunia pada April 2025 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 60,3% dari total populasi, atau sekitar 172 juta jiwa. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatatkan angka kemiskinan sebesar 8,57% pada September 2024. Perbedaan signifikan ini disebabkan oleh perbedaan metodologi dan standar garis kemiskinan yang digunakan oleh kedua lembaga tersebut. Bank Dunia menggunakan standar garis kemiskinan global sebesar US$6,85 per kapita per hari, sementara BPS menggunakan standar yang lebih rendah. Namun, meskipun ada perbedaan dalam metodologi, angka kemiskinan  menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia.
Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Salah satu program utama adalah Program Makanan Bergizi Gratis yang dimulai pada Januari 2025. Program ini bertujuan untuk memberikan makanan bergizi kepada 83 juta orang, termasuk anak-anak sekolah dan ibu hamil, dengan anggaran awal sebesar Rp71 triliun. Namun, program ini menghadapi tantangan besar dalam hal pendanaan dan logistik. Pemerintah memerlukan tambahan anggaran sebesar Rp100 triliun untuk mempercepat pelaksanaan program ini hingga akhir 2025. Kekhawatiran juga muncul terkait dampak fiskal dari pembiayaan program ini, yang dapat mempengaruhi reputasi fiskal Indonesia di pasar internasional.
Evaluasi terhadap program-program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih spesifik dan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Selain itu penting untuk memperbaiki pensasaran untuk menjangkau keluarga miskin yang belum menerima program bantuan sosial maupun jaminan sosial. Hal ini memerlukan data yang akurat dan terintegrasi, seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), untuk memastikan bahwa bantuan yang diberikan tepat sasaran. Intervensi khusus diperlukan di wilayah-wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Pendekatan spesifik menggunakan analisis spasial dalam menanggulangi kemiskinan dapat digunakan dengan melihat distribusi dan karakteristik geospasial dari kemiskinan di suatu wilayah. Dengan memanfaatkan teknologi GIS (Geographic Information System) dan data spasial lainnya, pembuat kebijakan dapat menggali pola dan hubungan antara faktor-faktor kemiskinan, seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, serta infrastruktur. Dengan cara ini, kebijakan yang dirancang dapat lebih terarah dan berbasis data, mengoptimalkan alokasi sumber daya dan intervensi yang disesuaikan dengan kondisi spesifik tiap daerah. Misalnya, daerah dengan akses terbatas terhadap fasilitas kesehatan atau pendidikan dapat diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur tersebut, guna mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi. Analisis spasial juga mencerminkan adanya pemetaan kemiskinan pada tingkat mikro, seperti desa atau kelurahan, yang seringkali tersembunyi dalam statistik nasional yang lebih luas. Dengan pendekatan ini, berbagai faktor yang mungkin tidak terlihat pada tingkat makro dapat dianalisis, seperti ketersediaan lapangan pekerjaan, ketidakmerataan distribusi bantuan sosial, atau bahkan kondisi lingkungan yang mempengaruhi kesejahteraan warga. Strategi penanggulangan kemiskinan berbasis analisis spasial dapat mengidentifikasi "hotspot" kemiskinan yang memerlukan perhatian khusus, memungkinkan intervensi yang lebih cepat dan lebih tepat sasaran. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi distribusi sumber daya tetapi juga menciptakan solusi yang lebih adil dan merata bagi masyarakat miskin di berbagai daerah.
Rekomendasi kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia mencakup beberapa langkah penting yang saling mendukung untuk memastikan upaya penanggulangan kemiskinan berjalan efektif. Pertama, peningkatan kualitas data sosial sangat krusial, dengan memperkuat sistem pendataan sosial seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk memastikan bahwa bantuan sosial yang diberikan benar-benar tepat sasaran. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya kesalahan distribusi yang dapat menyebabkan bantuan tidak sampai kepada kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Selain itu, desentralisasi program penanggulangan kemiskinan juga perlu dilakukan dengan memberikan otonomi lebih kepada pemerintah daerah untuk merancang dan melaksanakan program yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi lokal. Pendekatan ini dapat menjadi solusi yang lebih relevan dan responsif terhadap tantangan kemiskinan yang berbeda-beda di setiap wilayah.
Selanjutnya, peningkatan akses dan kualitas pendidikan serta kesehatan juga menjadi prioritas utama, terutama di daerah-daerah terpencil yang masih kesulitan mengakses layanan dasar ini. Dengan meningkatkan infrastruktur pendidikan dan kesehatan, diharapkan masyarakat dapat memperoleh keterampilan dan layanan kesehatan yang memadai untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Selain itu, penciptaan lapangan kerja yang dapat menyerap tenaga kerja juga harus didorong, dengan memfokuskan pada sektor-sektor ekonomi yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi, seperti industri kreatif dan digital. Memberikan pelatihan keterampilan yang relevan bagi masyarakat miskin juga penting untuk meningkatkan daya saing mereka di pasar kerja. Penguatan program perlindungan sosial seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sangat penting untuk memastikan bahwa keluarga miskin mendapatkan jaminan kesejahteraan dasar yang dapat membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan.
Dengan implementasi kebijakan-kebijakan tersebut, diharapkan tingkat kemiskinan di Indonesia dapat menurun secara signifikan dalam beberapa tahun ke depan. Namun, keberhasilan tersebut memerlukan komitmen dan koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dalam menghadapi tantangan kemiskinan, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya fokus pada angka statistik, tetapi juga pada kualitas hidup masyarakat. Kemiskinan bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan kemanusiaan. Oleh karena itu, pendekatan yang holistik dan inklusif diperlukan untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk hidup sejahtera.
Pemerintah juga perlu memperhatikan kelompok-kelompok rentan seperti perempuan kepala keluarga, penyandang disabilitas, dan pekerja migran dalam merancang program-program penanggulangan kemiskinan. Kebijakan afirmatif dan pemberdayaan kelompok-kelompok ini sangat penting untuk memastikan bahwa mereka tidak tertinggal dalam proses pembangunan. Penting bagi pemerintah untuk terus melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian, dapat diketahui sejauh mana program-program tersebut efektif dan apa saja kendala yang dihadapi di lapangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI