Oleh: Ahmad Syaifullah
Pembangunan ekonomi perdesaan telah lama menjadi tantangan besar bagi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Ketimpangan antara wilayah urban dan rural menimbulkan kesenjangan dalam distribusi sumber daya, akses pelayanan, hingga kesempatan kerja. Dalam upaya menjawab tantangan ini, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi  memperkenalkan strategi place-based sebagai pendekatan inovatif yang berfokus pada potensi dan kebutuhan spesifik tiap wilayah. OECD mendefinisikan strategi place-based sebagai "kebijakan yang dirancang untuk memanfaatkan potensi pembangunan suatu wilayah dengan memaksimalkan partisipasi aktor lokal, serta disesuaikan dengan kondisi unik lokalitas tersebut" (OECD, 2019).
Strategi place-based menekankan bahwa tidak ada solusi seragam (one-size-fits-all) dalam pembangunan wilayah. Setiap desa atau wilayah perdesaan memiliki karakteristik geografis, budaya, sumber daya alam, serta tantangan sosial-ekonomi yang berbeda. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus disesuaikan secara kontekstual dan kolaboratif dengan masyarakat lokal secara spesifik. OECD dalam laporan "Rural Well-being: Geography of Opportunities" tahun 2020 menegaskan bahwa pendekatan ini lebih efektif dalam memperkuat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di wilayah pedesaan.
Data terbaru dari World Bank (2023) menunjukkan bahwa sekitar 43% penduduk Indonesia masih tinggal di wilayah perdesaan, dan sebagian besar menggantungkan hidup pada sektor pertanian, perikanan, dan kegiatan informal lainnya. Namun, banyak desa masih mengalami keterbatasan infrastruktur dasar, konektivitas digital, dan akses pasar. Hal ini memperkuat urgensi penerapan strategi place-based, yang tidak hanya fokus pada peningkatan produktivitas, tetapi juga pada penciptaan ekosistem ekonomi lokal yang berdaya tahan dan adaptif.
Dalam konteks kebijakan nasional, strategi place-based mulai tampak dalam program seperti Dana Desa, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah desa untuk merancang dan mengelola pembangunan berbasis kebutuhan lokal. Namun, tanpa pendekatan strategis yang terarah, penggunaan dana ini seringkali masih bersifat administratif atau infrastruktur dasar, belum menyasar pengembangan ekonomi jangka panjang. OECD menyarankan agar pembangunan perdesaan melibatkan identifikasi aset lokal, pemetaan rantai nilai, serta pembangunan kapasitas masyarakat secara berkelanjutan.
Strategi place-based mendorong integrasi antara aktor lokal, pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, serta lembaga pendidikan dalam membentuk sinergi pembangunan. Di negara-negara anggota OECD seperti Kanada dan Norwegia, kolaborasi lintas sektor telah berhasil membentuk klaster ekonomi desa berbasis kekuatan lokal, seperti pengolahan makanan lokal, energi terbarukan, dan ekowisata berbasis komunitas. Kolaborasi ini memperkuat daya saing desa serta membuka peluang kerja baru bagi generasi muda.
Salah satu aspek kunci dalam strategi ini adalah pemanfaatan teknologi dan data lokal. Strategi ini menekankan pentingnya digitalisasi sebagai alat untuk menghubungkan desa dengan pasar global, mempercepat layanan publik, serta meningkatkan literasi ekonomi masyarakat. Di era saat ini, pembangunan ekonomi desa tidak lagi bergantung semata pada sektor primer, tetapi juga bisa berkembang dalam sektor digital, seperti perdagangan daring, pelatihan virtual, dan pertanian presisi.
Studi kasus di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan keberhasilan beberapa desa dalam mengadopsi strategi place-based, seperti Desa Wisata Candirejo di Kabupaten Magelang. Desa ini memanfaatkan keunggulan geografis dan kearifan lokal sebagai modal pengembangan ekowisata yang berbasis komunitas. Dampaknya, pendapatan masyarakat meningkat, dan migrasi keluar desa berkurang. Studi ini sejalan dengan temuan OECD Â pada tahun 2020 yang menyatakan bahwa desa-desa yang membangun ekonomi berdasarkan potensi lokal cenderung lebih resilien (memiliki daya tahan) terhadap krisis ekonomi global.
Namun demikian, tantangan implementasi strategi place-based di Indonesia masih signifikan. Masih terdapat keterbatasan dalam kapasitas SDM lokal, kurangnya data mikro yang akurat, dan lemahnya koordinasi lintas sektor. Dalam hal ini, diekomendasikan adanya  peningkatan capacity building melalui pelatihan teknis, fasilitasi kewirausahaan, dan penguatan lembaga desa agar mampu merancang kebijakan pembangunan berbasis bukti.
Selain itu, strategi ini juga perlu didukung oleh sistem evaluasi yang partisipatif dan berbasis hasil. Keterlibatan masyarakat desa dalam memantau dan menilai dampak kebijakan akan meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas program pembangunan. OECD menyebutkan bahwa pendekatan bottom-up yang terstruktur menjadi kunci keberhasilan place-based policy, karena tedapat fleksibilitas dan inovasi lokal dalam menghadapi tantangan yang spesifik.