Mohon tunggu...
Muh Husain Salam
Muh Husain Salam Mohon Tunggu... Auditor - Anonim

Aku Bergerak Maka Aku Ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengukuhkan Peran Masjid sebagai Pusat Dakwah Melalui Pemberdayaan Masyarakat Miskin dan Marjinal

26 Juni 2019   13:14 Diperbarui: 26 Juni 2019   13:34 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Negara indonesia merupakan salah satu dari negara berkembang. Dengan memiliki jumlah penduduk sekitar 270 juta termasuk negara dengan populasi terbanyak. Dari banyaknya jumlah penduduk yang dimiliki sehingga membuat angka perekonomian di Indonesia hanya mampu mencapai sekitar 5,1 persen. 

Berbagai permasalahan perekenomian di Indonesia terus datang silih berganti bahkan bertambah. Salah satunya masalah mengenai produktifitas terhadap kaum terpinggirkan atau sering dikenal dengan kaum marjinal. Kaum marjinal sendiri sering diartikan sebagai para gelandangan, pengemis, fakir dan miskin, dan sebagainya. Sehingga kaum marjinal terpinggirkan dari adanya konstruksi sosial. 

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menuntaskan masalah kemiskinan serta meningkatkan produktifitas terhadap kaum marjinal. Baik melalui dengan pemberian bantuan langsung, subsidi harga, maupun regulasi terkait dengan adanya lembaga perbankan maupun non-perbankan. Untuk lembaga non-bank maupun perbankan pemerintah menaruh harapan besar untuk mengembangkan tingkat perekonomian negara terkhusus yang berazaskan sistem syariah.

Untuk lembaga perbankan sendiri dengan berbasis Syariah sudah jelas macamnya, seperti: Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah dan sebagainya. Adapun untuk lembaga non-bank itu seperti Takaful, Pegadaian atau BMT (Baitul Maal wa Tamwil). Penulis melihat ada sesuatu yang menarik terkait dengan peran Baitul Maal wa Tamwil dalam upaya membantu pemerintah untuk menuntaskan kemiskinan dan meningkatkan produktivitas para kaum marjinal. Dan daerah yang ditinjau oleh penulis dalam menganalisis peran BMT terhadap masalah ini adalah daerah kota Yogyakarta. 

Seorang pakar ekonom dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta menjelaskan bagwa melihat dari lima tahun terakhir Yogyakarta selalu masuk dalam tiga besar daerah dengan IPM tertinggi se-Indonesia. Beliau juga menambahkan bahwa terkait dengan kesejahteraan masyarakat yogyakarta masih pada titik tertinggi dari angka nasional yak ni 15 persen sementara ditingkat nasional hanya 12 persen. Kemudian terkait dengan angka pengangguran yang ada juga nampaknya tidak jauh berbeda dengan tingkat nasional. Dengan masalah utama terkait dengan persoalan daya serap yang tidak merata  serta tingginya jumlah pendudukan pada usia produktif.

Nampaknya dalam penuntasan kemiskinan kita tidak dapat hanya berdiam diri mengobservasi kinerja berupa solusi yang dilakukan oleh pihak pemerintahan. Hanya menuntut pemerintah agar dapat menyelesaikan kasus kemiskinan, pengangguran serta penuntasan penindasan kaum marjinal tanpa adanya saran dan tindakan dari kita merupakan ibarat gerakan abstain  seperti kawanan pander yang hanya bersua saja. Terlebih apabila yang dilakukan oleh kebanyakan dari rakyat negara ini memperkeruh suasana. 

Dalam penuntasan kemiskinan yang semakin bertambah secara signifikan bukan saja merupakan tujuan dari adanya ideologi Pancasila ayat lima yang berbunyi "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", tetapi agama mayoritas Indonesia yaitu islam pun mengajarkan adanya teori pembebasan kaum miskin, mustadhafin dan yatim piatu. Islam melalui firman Allah dalam surah Al-Ma'un menjelaskan tentang teori pembebasan. Dilain redaksi dalam firman Tuhan, surah Al-Hasyr misalnya, baik secara tekstual maupun kontekstual islam mengatur bagaimana mekanisme perputaran kekayaan.

Islam juga melarang adanya penumpukkan kekayaan berlebih dan kepemilikan asset dan atau modal yang dapat merugikan masyarakat atau lingkungan sekitar. Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa "Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat". Dalam undang-undang dasar tersebut menggambarkan adanya keselarasan dengan teologi islam. Islam memulai peradaban dalam menuntaskan permasalahan yang ada melalui masjid. Masjid merupakan sumber atau pusat kegiatan muamalah. Dari masjid muncul berbagai ide, gagasan, teori, metode dalam menyelesaikan masalah yang menghampiri. Sehingga cikal bakal dari masjid islam sempat menguasai sepertiga benua hingga dapat menguasai sampai konstatinopel.

Di Indonesia sendiri islam dapat dikatakan sebagai agama mayoritas karena pengikutnya yang mendominasi jumlah penduduk keseluruhan. Tercatat sebesar 80% penduduk Indonesia yang beragama islam dan sisanya protestan, katholik, konghucu, hindu dan budha. Dari jumlah sebesar 80% tersebut menggambarkan banyaknya rumah ibadah umat islam (masjid/mushola) yang tersebar dalam penjuru Indonesia. Dalam setiap dusun atau desa setidaknya ada satu masjid. Terlebih satu kecamatan, kabupaten dan provinsi yang ada di Indonesia setidaknya ada 34 provinsi. Dalam provinsi Yogyakarta misalnya yang hanya terdiri dari lima kabupaten/kota, setidaknya di setiap kabuptan/kota memiliki lebih dari 30 masjid dari skala kecil dan besar. Terkait dengan kemakmuran masjid itu sendiri masjid seringkali identik dengan pengelolaan infak, sedekah dan zakat. Sehingga dalam setiap bulannya selalu mengalami perputaran arus kas.

Dalam satu minggu saja masjid skala kecil dapat menghimpun dana infak dan atau sedekah hingga mencapai 1-2 jutaan. Berbeda dengan halnya masjid besar dan megah, diperkirakan perolehan dana infak/sedekah setiap minggunya dapat mencapai nilai 5-10 jutaan. Dalam setiap bulannya setidaknya terkumpul dana sekitar 200 jutaan untuk 30 masjid skala kecil dan besar. Akan tetapi dengan pendapatan dana infak dan sedekah sebanyak itu dalam pengelolaan dana dari takmir masjid kurang maksimal. Banyak dana yang akhirnya tertimbun tidak dimanfaatkan untuk hal yang bersifat kemanusiaan atau produktif. 

Walaupun di masjid pelataran jogja itu sendiri ada beberapa kegiatan yang dapat memakmurkan masyarakat sekitar masjid. Masjid Jogokaryan misalnya, dengan manajemen pengelolaan arus kas yang unik yaitu arus kas nol pada saat pelaporan laporan keuangan. Dana infak dan sedekah yang diperoleh ole masjid tersebut digunakan untuk berbagai agenda rutin seperti halnya: kajian rutin, tabligh akbar, sunnat masal dan buka bersama bulan Ramadhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun