Mohon tunggu...
Ety Supriyatin
Ety Supriyatin Mohon Tunggu... Pembaca

Menulis apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. â– JUST BE MYSELFâ– 

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mematahkan Pepatah "Banyak Anak Banyak Rezeki"?

14 Februari 2023   09:03 Diperbarui: 14 Februari 2023   09:12 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahagiaku saat pasangan anakku memberikan cucu (dokpri/et's).

Hidup Memang Pilihan

Beda zaman, beda pemikiran, beda cerita.

Dengar ya anak-anak muda, "Banyak Anak Banyak Rezeki". Itu pepatah orang Jawa Kuna. Mungkin sebatas mitos, tapi banyak pembuktian. Menurut logika saya, anak adalah titipan Allah sehingga dengan banyak anak Allah pun akan memberi rezeki untuk menghidupi anak-anak entah dari mana datangnya rezeki.

Dan terbukti. Ayah saya yang tujuh bersaudara dengan keturunannya rata-rata memiliki enam anak, berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Kakek dan nenek saya mampu menghidupi anaknya yang berjumlah tujuh.

Ibu saya sembilan bersaudara, orang tuanya bukan seorang pegawai. Mampu menghidupi anak-anaknya yang kemudian mempunyai anak lagi rata-rata 3-6 anak.
Suami saya sepuluh bersaudara, mertua saya orang biasa, dan nggak punya sawah juga. Sepuluh anaknya bisa dibilang cukup mapan hidupnya.

Dari keluarga ibu saya memang ada satu orang Bulik saya yang nggak punya anak, tapi berusaha ke mana saja untuk bisa hamil. Ke dokter kandungan dan alternatif, dukun dan sejenisnya. Ternyata Allah belum berkehendak memberikan amanah. Akhirnya bulik saya mengangkat anak dari salah satu keponakan, demi masa tuanya. Bayangan masa tua tanpa anak sangat menghantui pikiran dan perasaannya. Siapa yang akan merawat jika sakit, begitu pikirnya.
Cerita semacam itu banyak dialami orang-orang yang tidak bisa mempunyai anak. Bahkan biaya puluhan juta pun dikeluarkan demi ingin memiliki anak. Usaha secara medis dan alternatif lain dilakukannya.

Zaman sekarang, childfree justru menjadi pilihan bagi sebagian orang. Dengan alasan yang sulit diterima logika, menurut saya pribadi. Apa nggak mikir masa depan dirinya kelak? Atau lebih tepatnya masa tuanya. Siapa yang mau memberikan minum, memasaknya, dan merawatnya jika tidak memiliki anak. Terlebih jika sudah sakit-sakitan. Apa mau tinggal di panti jompo ya?!

Ada yang lebih berarti dari seorang anak yang memberikan keturunan pada orang tua atau mertuanya. Hal itu sangat membanggakan para orang tua yang diberi cucu. Banyak kasus perceraian karena menantunya mandul. Mertuanya berperan aktif untuk mendukung anaknya cerai, entah anaknya sendiri laki-laki atau perempuan. Miris, bukan?

Beda cerita dengan pernikahan pasangan lanjut usia. Jika sampai berkeinginan mempunyai anak, aduh, kasihan banget kehidupan anaknya kelak. Lagian sudah usia kakek-nenek renta masa mau menunggu anaknya sekolah TK? hehe. Kalau cucunya sih masih pantas saja...

Jadi bolehlah misal pasangan muda hanya menunda memiliki anak, tapi tetap memprogram dalam jangka tertentu.

Alasan takut tidak mampu membiayai hidup  anak, tanamkan kepercayaan diri bahwa Allah Maha Pemurah.
Alasan agar tetap terlihat cantik, sexy dan fresh? Kan banyak juga salon kecantikan dan sanggar-sanggar kebugaran.

Semoga yang mempunyai anak bisa menjaga titipan Allah.
Semoga yang belum memiliki anak segera punya momongan.
Semoga yang tidak berkeinginan memiliki anak hanya sebatas menunda kehamilan. Bukan berniat mematahkan pendapat "Banyak Anak Banyak Rezeki".
Dan semoga pasangan yang menikah pada usia senja nggak usah memiliki anak dari pasangan barunya, rawat saja anak-anak dari bawaan masing-masing.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun