Mohon tunggu...
Ety Supriyatin
Ety Supriyatin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca

Menulis apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. â– JUST BE MYSELFâ– 

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orientasi Mendukung Calon Legislatif, karena Uang?

19 Januari 2023   15:12 Diperbarui: 19 Januari 2023   15:22 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terkait sistem pileg pemilu 2024  proporsional terbuka, tertutup dan distrik sudah banyak yang mengupas tuntas dari para kompasianers yang handal dan produktif. Intinya, saya pribadi cenderung tidak memilih membeli kucing dalam karung dalam mendukung caleg.
Saya hanya ingin berbagi cerita, flash back pemilu 2019  ketika dihadapkan pada dua pilihan antara calon legislatif (caleg) parpol A dan caleg yang diusung oleh parpol B. Dan cerita yang mengikutinya.
Awalnya saya dimintai bantuan untuk mendulang suara dari caleg A. Strategi sudah saya atur sedemikian rupa, dan menemukan kesimpulan akhir untuk menginput data. Data base yang diperoleh dari survey suara masif.
Cukup lima suara dari masing-masing RT sedapil dimungkinkan menuai kemenangan. Tinggal bagaimana  merawat konstituen yang tidak menghabiskan energi dengan pola tersebut.
Sangat disayangkan, tinggal seperempat perjalanan caleg A bertindak "semau gue" dan tidak menghiraukan timses lagi.
Pada saat bersamaan muncul caleg B yang datang ke rumah, dan memohon-mohon minta bantuan juga. Saya sudah komitmen memberikan suara lima dalam satu keluarga saya pada caleg A. Maka ketika caleg B terkesan memelas dan  merengek-rengek minta bantuan saya konsekuen menyampaikan bahwa suara saya dan keluarga diberikan pada caleg A. Dia yang datang bisa dikatakan pada last minute, memaksa minta suara yang lain (bukan suara saya dan keluarga). Dan meminta saya membantu untuk pemenangannya. Bagaimana mungkin saya berdiri di atas dua kaki, begitu pikir saya saat itu.
Setelah saya berpamitan minta izin pada caleg A yang notabene saudara saya dengan alasan logis, akhirnya saya mengiyakan permintaan caleg B. Saya pikir juga kendaraan mereka berdua berbeda, sehingga saya berharap kedua-duanya akan menang tanpa merusak data base caleg A. Dan basis suara caleg B masih sangat berpeluang untuk memenangkan juga.
Hari itu caleg B memaksa saya untuk menerima uang lima juta rupiah. Uang sebagai modal awal untuk operasional. Tapi saya sama sekali tidak menerimanya. Saya tolak dengan alasan saya hanya niat membantu mencarikan suara, bukan   mencari uang.
Besoknya dia datang lagi (sebelum saya bekerja, katakanlah bekerja karena harus mengeluarkan tenaga, pikiran dan juga waktu yang tersita). Dia datang dengan lesu dan muka cukup pucat. Waktu yang sangat limit mendekati pemilu dirasa kurang untuk mencapai ambang batas perolehan suara. Saat itu dia pasrah sebelum saya bekerja, dan mengungkapkan tidak mau lanjut lagi menjadi kontestan. Hati saya terpanggil untuk mensupportnya. Dan tergerak untuk mulai terjun mencari suara. Saya bujuk untuk tetap melangkah. Saya beri semangat dan meyakinkan bisa menang. Harus optimis. Akhirnya dia bangkit kembali dan semangat meraih sukses demi cita-cita dan harapan ayahnya juga. Lagi-lagi dia memaksa saya untuk menerima uang transport. Sampai memaksa 1,5 juta ya nggak apa-apa tolong diterima, begitu bujuknya. Katanya supaya dia mantep dan percaya diri kalau saya siap membantunya. Akhirnya saya terima saja uang itu dan tentunya bukan masuk kantong pribadi tapi untuk modal melangkah.
Hari pertama gerakan saya masih canggung mengingat caleg A tetap berharap saya membantunya meskipun dengan terpaksa merelakan saya membantu caleg B. Juga timses caleg A yang tanpa komentar ketika saya minta izin membatu caleg B.
Dengan pertimbangan sebagai teman dan punya kepentingan untuk umum (bukan kepentingan pribadi), akhirnya saya totalitas berjuang, terjun ke lapangan. Blusukan ke wilayah-wilayah yang sama sekali belum pernah saya singgahi sebelumnya. 

Saya atur jadwal kunjungan ke berbagai perkumpulan-perkumpulan yang ada di masyarakat. Ya, hanya bermodalkan kegiatan  komunikasi massa, hubungan publik, dan lobby-lobby ke tokoh masyarakat dan tokoh agama. Karena dari segi pendanaan teman saya itu bisa dikatakan kurang untuk ukuran pencalegan yang rerata menghabiskan dana ratusan juta, bahkan ada yang sampai miliaran.

Ketika benar-benar last minute, salah satu anggota keluarganya datang ke rumah saya menanyakan estimasi perolehan suara. Saya yakinkan aman. Justru beliau yang ragu-ragu, gelisah dan khawatir tidak aman sehingga menawarkan untuk melancarkan "serangan fajar". Saya kaget, uang dari mana? Tapi saya tidak terlalu memikirkan uang dari mananya, mungkin ada penyandang dana atau sumber dana lainnya. Saya hanya tersinggung saja, karena dengan rencana beliau sama saja tidak menghargai perjuangan saya dan timses lain tentunya. Saya menolak keras tawaran tersebut. Saya katakan nista sekali jika sampai melakukan hal itu. Percuma saja ibaratnya saya berjuang mati-matian kena panas dan hujan baik siang maupun malam saat harus atur strategi meskipun lewat ponsel. Saya sampaikan  alasan-alasan kuat yang tentu jarang disampaikan oleh timses caleg lain sepanjang sejarah pencalegan. Kebanyakan dari mereka justru menyambut dengan senang hati ketika ditawarkan "serangan fajar". Entah menang atau kalah urusan caleg sendiri. Mereka butuhnya hanya uang. Tidak terpikirkan dalam benak mereka dampak dari aksi itu selama periode ketika  caleg dukungannya sudah menduduki kursi legislatif.
Berbeda dengan tujuan saya ketika dukung-mendukung, orientasi saya bukanlah uang. Saya lebih mengutamakan kebermanfaatan caleg tersebut bagi masyarakat ketika menjadi anggota dewan. Jujur dan dapat dipercaya. Sehingga saya berpandangan jika seorang caleg menghambur-hamburkan uang saat masa kampanye, tidak menutup kemungkinan pada akhirnya akan sepak sana sepak sini untuk mencari ganti seluruh modal yang sudah dihabiskan. Dan saya sedikitpun tidak ingin caleg dukungan saya seperti itu. Maka ketika ditawarkan ulang oleh saudara teman saya itu, sebut saja Prio, saya tetap bersikukuh menolak "serangan fajar" yang bagi saya sangat memuakan. Bahkan sangat menjijikan. Dan penuh risiko, nama baik saya juga akan hancur.

Akhirnya Prio mengatakan sendiri, "Ya sudah kalau bu Ety nggak mau, nanti kalau menang dana itu buat jatah bu Ety saja." Wow! Bisa dibayangkan berapa banyak dana itu, bukan? Sampai ketika caleg dukungan saya itu benar-benar sudah disahkan menjadi anggota DPR, ada saudara saya yang komentar karena paham betul dengan gerakan perjuangan saya untuk teman saya itu. "Kamu  misal menerima upah 50 juta itu sangat layak, tidak seberapa dibanding  gaji anggota dewan yang diterima," begitu kata pakde saya saat menanyakan dapat uang lelah berapa dan saya jelaskan tidak menerima seperakpun. Haha..., saya tertawa lepas mendengar pernyataan pakde saya itu. "Nggak usah 50 juta pakde, 5 juta atau 500 ribu saja sudah senang dan sangat berterima kasih," jawab saya.
Loh kok jadi terkesan orientasi saya duit? Bukan itu masalahnya. Saya beberapa kali bertemu Prio di beberapa tempat acara. Beliau selalu minta nomer rekening dan mengatakan mau transfer. Saya yang dimintai nomer rekening, bukan saya yang meminta ditransfer. Mungkin mau menepati janjinya memberikan uang yang rencananya buat "serangan fajar". Saya katakan pada pakde saya seperti di atas, 500 ribu saja sudah  senang dan sangat berterima kasih, karena sampai sekarang pun nomer rekening itu tidak pernah dipakai untuk transfer oleh Prio. Alias zonk, hehe. Tapi tak mengapa, sebab niat awal saya menjadikan teman saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, adalah bukan karena uang!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun