Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budayakan Mengutarakan Pendapat sejak Kecil

24 Desember 2013   12:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

DI AUSTRALIA, anak-anak sejak TK sudah diajarkan untuk mengemukakan pendapat mereka. Mereka satu-satu diwajibkan untuk tampil ke depan kelas dan bercerita tentang thema yang ditentukan. Gurunya bertanya pada murid lainnya tentang pendapat mereka. Sekolah TK juga mengajarkan bagaimana pendapat itu terarah dan terpimpin. Selain dilatih berpendapat mereka juga dilatih untuk mematuhi pemimpin. Karena pemimpin adalah wakil yang mereka tunjuk secara mayoritas, maka pemimpin sudah seharusnya dianut. "Follow the Leader", itu lagu anak-anak yang sering dinyanyikan di tingkat TK.

Meski mereka usianya amat muda, anak-anak kecil di Australia juga didengarkan pendapatnya. Dalam memutuskan sesuatu, orangtua biasanya akan bertanya, "Apa menurutmu (what's your opinion)?", atau "Apa menurut pikiranmu (what do you think)?" atau "Bagaimana kalau begini? Bagaimana menurutmu?" dan seterusnya. Kebiasaan mengemukakan pendapat di budaya barat yang mengakui persamaan hak itu sudah dibiasakan sejak kecil. Nilai-nilai demokrasi disosialisasikan sejak dini. Anak kecil didorong untuk bisa mengemukakan apa yang dipikirkan. Jika tidak suka, harus bilang tidak suka.

Barangkali kebiasaan mengemukakan pendapat ini bisa dilihat di siaran TV. Seorang anak kecil di dunia barat rata-rata demikian lancar mengutarakan pikirannya ketika ditanya wartawan tentang sesuatu.

Benarkah budaya berpendapat sudah menjadi kebiasaan kita di tanah air?

Sebagian besar orangtua atau kaum dewasa memperlakukan anak kecil sebagai anak kecil yang perlu dilindungi dan dibimbing. Kadang tujuan baik ini tidak begitu memperhatikan kemauan atau pendapat anak. Orangtua atau kaum dewasa merasa punya pengalaman dan anak kecil perlu mendengarkan apa pendapat orangtua atau kaum dewasa di sekitarnya demi kebaikan mereka sendiri.

Anak cenderung diarahkan menurut kehendak orangtua atau kaum dewasa. Anak dianggap belum matang untuk berpendapat karena pengalamannya masih dini. Jika mereka tidak setuju dengan kemauan orangtua biasanya cuma menangis. Kalaupun menangis, orangtua biasanya tidak memintai pendapat atau alasannya kenapa menangis. Malah mempermalukan si anak. "Anak laki-laki kok cengeng," begitu kira-kira. Kalau seorang anak berpendapat, orangtua akan bilang, "Kau ini masih kecil. Tahu apa kamu? Dibilangi orangtua kok nggak mau menurut," kata orangtua. Maka anak akhirnya cuma bisa menggrundel di belakang dan menahan pendapatnya. Atau mengutarakan pendapatnya itu pada sesama teman sebaya, kakak atau adiknya. Mereka merasa tak berdaya melawan pendapat orangtua mereka.

Orangtua seolah punya otoritas penuh atas pendapat anak. Jika anak mengutarakan keberatannya dianggap tidak menghargai orangtua. Jika sebagai orangtua dan pendapatnya tidak didengarkan anak, orangtua bisa merasa tersinggung dan tidak dihargai. Anak bisa dosa, kualat dan hidupnya bakal celaka nantinya. Itulah kira-kira mayoritas sikap orangtua kita.


  • Diskusi dan Otoritas di Dunia Maya

Sejak kecil kita dilatih untuk mengenal otoritas. Kita tidak bisa berpendapat seenaknya melawan otoritas. Figur orangtua adalah figur otoritas yang ditanamkan sejak dini. Maka ketika si anak menjadi seorang individu dewasa, sikap pada figur yang punya otoritas membuatnya hati-hati untuk berpendapat.

Jika otoritas dirasa tidak bisa dilawan, maka mereka menempuh jalur lain yang populer tapi tidak menyelesaikan masalah yakni dengan nggrundel, rasan-rasan, gunjingan, atau bergosip ria. Mereka mencari teman, golongan, kelompok setara yang bisa menampung kegundahan mereka. Dukungan kelompok yang merasa senasib ini cukup efektif dalam mereduksi gejolak karena selisih pendapat. Sebuah pengalaman masa kecil saat nggrundel terhadap orangtua mereka diteruskan hingga ke alam dewasa.

Jika mereka kemudian memegang kedudukan yang punya otoritas, siklus masa kecil itu terulang kembali. Mereka akan mengetrapkan otoritasnya bagai orangtua kepada anak-anaknya. Bawahan dilarang kritik seenaknya kalau tak ingin dicap tak tahu menghargai atasan. Bawahan harus nurut pendapat atasannya. Lahirlah budaya "yes man" di kalangan birokrasi. Lahirlah sebutan "Bapak Pembangunan" di jaman pemerintahan Orde Baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun