Mohon tunggu...
Uut63
Uut63 Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik UPGRIS

Sebagai seorang pendidik (sejak 1981), saya selalu ingin meningkatkan kualitas diri. terutama sebagai pribadi Muslim, saya sangat interest dengan berbagai ajaran yang mengajak ke jalan kebaikan, dan keselamatan dunia akherat. Di setiap tatap muka dengan mahasiswa, saya juga selalu mengingatkan akan hal ini. Di usia yang tidak lagi muda, saya ingin selalu bisa menebar kebaikan. Mudah-mudahan tidak saja bermanfaat untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Saat ini, saya sedang ingin membuktikan talenta pemberian Allah yang tidak saya sadari. Membaca, menyimak (mendengarkan dan memcermati), kemudian menuliskannya. Sesekali saya masih suka bergabung dengan teman, sahabat untuk menyanyi. Sembari menunggu anugerah Allah untuk bisa segera menuntaskan studi S3, saya ingin melakukan apa saja hal-hal yang bermanfaat. Setidaknya ini merupakan salah satu bentuk syukur pada-Nya. Semoga Allah ridla.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Siang di Bontaman

18 Desember 2022   09:27 Diperbarui: 18 Desember 2022   09:37 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rumah ini terlalu sederhana untuk disebut Gedhong. Tapi orang desa menganggapnya Gedhong, karena ia memang berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya. Atapnya dari genting beton, berbeda dari yang lain yang beratap Rumbia. Sudah sangat lama berpuluh tahun silam dari ketika aku masih sangat kecil waktu itu. Ketika aku selalu dibawa Ayah Ibu mengunjungi Embah Raka dan Embah Rayi. Beranda depan tempat kami bercanda ria. 

Menyetor butir-butir Cengkih yang berjatuhan. Embah Raka pinarak di Balai-balai menanti kami. Sebesek uang logam telah menanti. "Ambil sendiri!, kata Simbah sambil menerima setoran kami. Dan kami para cucu akan selalu kembali. Sambil bersendawa "Hmbuek, embuek,...ogh....", Mbah Kakung mengawasi kami yang riang di Kebonan, memunguti butir cengkih bertebaran di tanah basah. 

Di dapur Mbah Rayi menyiapkan makan bersama para Abdi. "Hayoo..., maem-maem!, serunya. Tangan keriputnya terus sibuk menata perlengkapan makan di meja panjang. Kakinya yang masih kokoh kuat, berulangkali bolak-balik ke dapur mengambil masakan yang telah siap saji. Hmmmh... lezat bau Sayur Lodheh tercium harum dari Beranda. Berbaur dengan gurih gorengan Mujair. Sekejap menyengat di hidung Sambel Raden yang merah hitam pekat, campuran Terasi dan  Jelantah bekas gorengan Ikan. Manis mengeong, mungkin seperti kami lapar. Tak sabar kami berlari mendekati Mbah Rayi.

Ini kesukaan kami para cucu. berjajar di Kursi Kayu besar panjang. Sepanjang mejanya. Tak berkedip kami menunggu jatah. Embah akan mengambilkan kami satu demi satu. Mulutnya tak henti berceloteh, "Hayoo...maem yang banyak!" sebentar kemudian, "Kamu, Menur, mau ya, Mujair sama Bayam?" "Eeh... jangan banyak-banyak Sambalnya. Pedhes! Itu buat Bapak, Ibu!" tegur Mbah Rayi pada sepupu kecilku. Embah memang pintar, selalu disiapkan pula sayur untuk cucu-cucunya yang belum bisa makan pedas.

Asap panas dari pinggan Sayur Padha Mara (biasa diucapkan Podho Moro), menerpa hidungku. Kruyuk...kruyuk, suara perutku tak sabar menanti giliran. Sebenarnya aku bisa mengambil sendiri, tetapi kebiasaan Simbah selalu ingin  melayani kami. Sambil menunggu, aku iseng bertanya pada Simbah, "Mbah Rayi, kenapa dinamai Jangan Padha Mara?", ingatanku pada arti kata itu membuatku penasaran ingin tahu. "Coba kamu lihat, apa saja yang ada di Basi itu?" Sambil kuaduk, kusebutkan satu per satu yang kutahu. "Kacang panjang, Jipang, Terong, Kol, ... Ini apa Mbah?" seruku sambil memperlihatkan kupasan apa...itu? "Kulit Mlinjo, kamu suka makan buahnya", jawab mbah menerangkan sambil menunjuk isi Toples di Meja di sudut dekat pintu. "Ooh... Emping." Yah... aku memang suka Emping gorengan Embah Rayi. Rasanya khas, gurih, asin, renyah.  Camilan wajib di Hari Raya kesukaan keluarga kami. "Kuahnya banyak, Mbah!" seruku meminta pada Mbah. Kuah Santan Sayur Padha Mara atau Lodeh ini sangat menggoda. Potongan Pete menambah sedap dirasa.

 Sambil mencowel-cowel Mujair, memisahkan daging dari duri, kami terus bercanda membicarakan 'penghasilan' kami. "Aku dapat  15!" "Akuu... 25!", seru Mas Aan, putera Pakdhe. Paling besar di antara kami, suka ngapusi Mbah Raka. Setiap cucu boleh mengambil sendiri 'bayarannya', tetapi harus jujur!'. Kata Mbah Raka, 'Boleh ambil sendiri, 15 rupiah untuk 15 butir Cengkih.!' Aku mengambil  7 kon 2 rupiahan, dan 1 koin serupiah. Ah...berlibur di rumah Embah selalu membuatku bahagia. 

'Ke mana Bapak, Ibu?' pikirku mencari ke sekeliling. Seperti tahu Embah Rayi menjelaskan, "Tuh... mereka datang, dari rumah Pakdhe, melihat Embek." Nah, ini kesenangan kami yang lain, memberi makan Embek-embek di kandhang  belakang rumah Pakdhe Yono. Mas Aan memberiku isyarat, agar cepat makanku. Tangannya menunjuk ke arah rumah Pakdhe. Horee... setelah makan, aku dan saudara-saudaraku akan ke sana. 

Kami bergegas meninggalkan meja makan dengan menyisakan duri-duri berserakan. Kami berpamitan pada Mbah Raka, satu per satu kami mencium tangannya yang sudah keriput. Mas Aan membantu Embah  turun dari balai-balai, dan menuntunnya ke Meja makan. Ibu, Bapak akan makan bersama Embah. 

Tiga hari di desa membuatku jengah untuk kembali ke kota. Rasanya belum puas. Tetapi bapak, ibu sudah harus ke kantor besok. Kusimpan kecewa, ketika tiba saat harus berpamitan. Mata embah berkaca-kaca, beliau berdua juga belum tuntas rindunya. "Bulan depan ada cuti bersama. Insyaa Allah kami kembali ke sini. Mungkin masa panen sudah tiba." Bapak menjelaskan pada Embah. Kulambaikan tangan sampai kelokan, batas aku bisa melihat Embah, Menur dan Pakdhe, Budhe yang masih berdiri melepas kami.

Bontaman, tunggu. Kami segera kembali. Deru mesin mobil bapak tak kudengar lagi. Aku terlelap mimpi siang di Bontaman.

Lamunanku mengenang masa kecilku. Sayur Lodheh atau Sayur Padha Mara dan pasangannya Ikan Mujair goreng dan Sambal Raden. masa kecil memang masa indah untuk dikenang. Tak lekang dari ingatam, mengundang rindu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun