Selama pengalaman saya bekerja sebagai petugas keamanan di perumahan ini, kali ini adalah tawaran teraneh yang jujur saya ingin sekali menolaknya, karena sungguh tidak masuk akal.Â
Bagaimana cerita, seorang petugas keamanan harus berjaga dari rumah pohon?Â
Bagaimana saya bisa berlari cepat jika ada kejadian yang wajib diamankan? Jika bukan karena gaji yang ditawarkan begitu tinggi -- tiga kali lipat dari gaji-gaji sebelumnya -- saya benar-benar enggan naik turun pohon Beringin ini. Apalagi kaki saya sesekali kena reumatik.
"Pak, apa tidak salah?" tanya saya sore itu di ruang tamu Pak Sardi. Ia telah mendengar bagaimana prestasi saya dalam mengamankan rumah-rumah tetangga. Dari sekian banyak rumah yang pernah saya jaga -- dalam kurun waktu lima tahun sudah sepuluh rumah -- satu pun tidak ada yang kecolongan.Â
Perpindahan tugas saya yang seperti begitu cepat dari satu rumah ke rumah lain bukan karena pemilik rumah tidak suka dengan sifat saya, bukan pula saya mengundurkan diri, tetapi hanya sebab mereka terus-terusan memperebutkan saya.Â
Sempat saya hampir memutuskan tidak berjaga lagi karena jenuh melihat orang-orang itu berdebat tidak ada habisnya. Apakah tidak ada orang lain yang bisa menjaga? Mengapa harus saya yang terus diributkan?Â
Jika istri saya tidak membesar-besarkan hati saya, bahwa menjaga keamanan adalah perbuatan mulia dan kebaikan yang patut dikerjakan, saya sudah berhenti jadi petugas keamanan. Sialnya, ada pula yang menyebarkan kabar angin, entah dari mana, bahwa saya membawa keberuntungan bagi pemilik rumah.
"Saya tidak tahu, lho, Pak. Sejak Ngatno jaga di rumah, saya selalu menang lotre."
"Saya pun demikian, Bu. Saya juga heran. Belum berapa lama Ngatno bertugas di rumah, saya langsung dapat promosi dari atasan."
"Oh iya, Pak? Yang benar? Kalau begitu, besoklah, giliran saya minta Ngatno jaga di rumah saya!"