Jika saya harus menggambarkan seperti apa tokoh yang akan diulas berikut, setidaknya ada tiga kata seputar peminatan Beliau: Lingkungan, Budaya, dan Filsafat. Beliau adalah Ibu Suprihati. Simbok Kebun, demikian Beliau sering memperkenalkan diri.
Dari Kompasiana, saya tahu Beliau. Inspirasiana mendekatkan kami. Tulisan-tulisan Beliau mencerahkan saya. Kendati tidak selalu mampir, saya sungguh meyakini bahwa tidak ada satu pun tulisan Beliau yang tidak berbobot.
Satu demi satu yang pernah saya baca adalah pelajaran hidup. Beliau suka mengangkat tema seputar kebun. Sebagian jenis tanaman, cara perawatan, perkembangbiakan, sampai pembahasan dari sisi ilmiah lengkap adanya.Â
Saya jadi teringat guru Biologi semasa SMA yang hafal sekali nama latin berbagai makhluk. Demikianlah Beliau ketika membabarkan tentang tanaman.
Kendati Beliau tidak secara terang mengisi kanal Filsafat, tulisan Beliau tentang tanaman sarat filosofi. Beliau belajar kehidupan dari dunia flora. Demikian pun saya, tetapi di dunia fauna. Sama-sama kita suka alam ya, Bu. Hehehe...
Ya, selain menjadi kesukaan Beliau, saya juga suka filosofi. Bagaimana secara pasti, Beliau gampang mengerti tentang koin yang jatuh di lantai. Koin itu berputar, bergeser, sampai akhirnya hilang daya keseimbangan dan berhenti. Tergeletak di lantai.
Demikianlah hidup, pintar-pintarlah kita mengatur keseimbangannya. Hidup pun terus berputar, kadang di atas, kadang di bawah, sampai suatu ketika ia akan berhenti.
Dari sisi kebun, Beliau mengungkap filosofi mendalam perihal daun pisang. Bagaimana kita sebaiknya belajar tentang pensiun dari perilakunya.
Sepanjang masa daun pisang menjalankan dharma sesuai dengan penugasan. Taat azas kedinasan dan tatanan peran yang ditetapkan oleh pengelola. Mengikuti penjejangan peran.
Mempersiapkan diri untuk berperan sesuai masanya. Mana cantik pais pisang dibungkus daun klaras. Begitu pun sebaliknya. Menyiapkan diri untuk tidak post power syndrome, olala.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!