Baru kemarin saya menonton satu video seorang food vlogger, tentu seputar ulasan makanan. Ia makan di pinggiran Jakarta dengan menu seafood. Bahan-bahan seafood segar ia beli dari pengepul.
Pengepul itu tidak memasaknya. Si food vlogger membawa bahan itu ke seorang pemberi jasa layanan masak untuk dimasak. Saya bingung menjuluki pemberi itu pemilik warung makan. Ia tidak punya bahan baku. Hanya memasak bahan yang dibawa orang. Ia menyediakan bumbu-bumbunya.
Makanannya terlihat enak. Ada yang dimasak bakar kecap. Goreng tepung renyah dengan saus. Seperti masakan seafood yang biasa kita temui. Setelah makan, si food vlogger kebingungan dan tertangkap tidak enak waktu membayar.
Pemberi jasa itu menetapkan tarif seikhlasnya. Karena berita itu pula, si food vlogger tertarik mengunjungi. Mungkin penasaran karena unik dan hendak membuktikan. Saat bayar, ia mengeluarkan sejumlah uang.
Sempat si pemberi jasa menolak. Katanya itu kebanyakan. Si food vlogger semakin bingung. Katanya seikhlasnya, mengapa ini tidak diterima? Akhirnya, setelah dirayu sedemikian rupa, pemberi jasa menerima.
Ibu pernah bingung
Peristiwa lain, ibu saya juga pernah bingung dengan tarif semacam itu. Suatu ketika badannya pegal-pegal. Ia merasa ingin dipijat. Karena tidak punya kenalan, bertanyalah ibu ke seorang tetangga.
Tetangga itu merekomendasikan seorang pemijat yang menurutnya berkualitas. Karena terdesak dan ingin sekali, ibu tanpa berpikir lama langsung meminta nomor ponsel pemijat.
Datanglah pemijat ke rumah. Benar, seperti kesaksian tetangga, kualitas pijatannya bagus. Seusai dipijat, ibu mengambil dompet. "Berapa, Bu?" tanyanya pada pemijat. "Seikhlasnya," jawab pemijat.
Karena bingung dan tidak enak bila memberi dirasa terlalu kecil, ibu membayar lima puluh ribu. Pemijat senang dan lekas pulang. Karena penasaran, ibu bertanya kepada tetangga itu, berapa biasanya ia kasih. Ternyata dua puluh ribu. Kali lain, ibu memberi dengan nilai dua puluh ribu. Setidaknya, tidak lebih kecil dari yang biasa orang-orang berikan.