"Berapa yang belum pulang sampai saat ini?" tanya seorang lelaki pada temannya. Teman itu mendata siapa saja yang masih tinggal dalam ruangan. Satu per satu dihitungnya dengan tepat.
"Dua puluh orang, Pak," jawab teman itu. Lelaki itu mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompetnya. Ia memberikannya pada teman itu. Tidak berapa lama, setelah keluar kantor, teman itu membawa seplastik besar gorengan.
Demikianlah kebiasaan sebagian teman saat berbuka puasa di kantor. Meskipun tidak ikut puasa, saya terkadang kecipratan kesempatan untuk menyantap gorengan.
Dengan begitu ramah, mereka menyilakan saya bergabung. Sudah tertata rapi di atas meja, gorengan-gorengan yang baru dibeli dari tukang gorengan dekat kantor.
Ada bakwan jagung, tempe mendoan, risol berisi sohun, cireng, ubi goreng, dan lainnya. Sebagian besar berwarna kuning keemasan, yang memikat mata dan nafsu untuk melahapnya.
Gorengan makanan sejuta umat
Saya rasa, gorengan adalah makanan sejuta umat. Berjuta-juta bahkan. Anda para pembaca pasti pernah memakannya. Kendati sudah berubah dan tidak menyantapnya lagi, setidaknya sekali waktu pernah begitu suka.
Menemukannya pun sangat gampang. Mau di dekat kantor, lingkungan perumahan, sekitar taman, pinggir lapangan, dan lokasi lain, tukang gorengan bak cendawan saat musim hujan.
Bermodalkan gerobak, tutup kipas besar untuk saringan, minyak goreng, kompor beserta gas, wajan dan alat penggorengan, beserta bahan baku gorengan, profesi ini menarik banyak peminat.
Ada pula yang telah menetap dan membuka warung permanen. Iya, menjual gorengan telah mendatangkan potensi keuntungan bagi banyak orang. Jika tidak, tentu jumlah pedagang gorengan tidak kian banyak dan sulit ditemui.