Belum selesai kakak menghabiskan kalimat, terdengar langkah kaki mendekat.
"Hayoo, kamu bocorin rahasia ya?" Ibu mengangkat tongkat ke arah muka kakak. Kakak hanya tertawa.
"Enggak Bu, enggak."
Sial, pikir saya. Mengapa ibu cepat sekali kencingnya? Ah, mengapa pula kakak selalu takut membocorkan perkara itu? Foto siapa yang sebenarnya mereka rahasiakan itu?
Meski di luar rumah, kakak pun tidak mau mengatakan foto siapa itu. Ia takut melawan perintah ibu. Saya mengerti, sampai kapan pun memang kita tidak boleh melawan ibu.Â
Tetapi, apakah sekali ini saja tidak bisa? Apa mereka suka saya mati karena penasaran? Atau mereka memang bekerja sama menjaga foto itu dan membuatnya spesial sebagai hadiah pernikahan saya nanti?
Saya bisa saja menggeledah kamar ibu untuk mencari kuncinya. Saya bisa saja curi-curi waktu untuk membukanya diam-diam ketika ibu pergi ke pasar. Tetapi, saya pikir-pikir lagi, daripada ibu nanti marah besar dan saya tidak dapat restu nikah, saya akhirnya memilih menunggu saja setelah menikah.
Hari yang dinanti tiba. Sekarang saya sudah menikah dengan suami saya, pacar sejak SMA. Setelah resepsi di gedung selesai, saya buru-buru pulang ke rumah, meninggalkan suami, untuk bertemu ibu yang sudah duluan pulang karena tidak kuat dengan sakit tuanya itu.
"Ayo, Bu, buka. Saya sudah nikah sekarang!" kata saya dengan nada sedikit kencang. Saya betul-betul tidak sabar.
Ibu hanya tersenyum. Tangannya terus saja memijat tempurung lututnya yang sudah aus itu. Meskipun begitu linu, ibu tetap berusaha tersenyum, menyembunyikan deritanya. Ibu memang begitu, sebisa mungkin tidak merepotkan anaknya.
"Kamu sudah siap?"Â