Sudah menjadi kebiasaan di keluarga saya, tetangga dekat perumahan, kerabat jauh di seberang pulau, bahkan rumah orangtua tunangan saya yang beberapa hari lagi menjadi mertua saya, selalu memajang beragam foto di ruang tamu.Â
Setiap kali saya membuka pintu rumah, baik pulang dari bekerja maupun bertamu ke rumah orang, hampir tidak pernah saya temui dinding ruang tamu begitu bersih tanpa ada ornamen indah itu.
Semua berlomba mengabadikan momen bersama keluarga dalam potret kamera di atas selembar kertas tipis yang dasarnya putih dan berkilau, dengan aneka bingkai yang tidak kalah memukau.
Di ruang tamu rumah saya, ada foto ibu sedang duduk memakai sanggul besar layaknya ibu pejabat, berbusana gaun berwarna ungu yang terurai anggun. Di sebelahnya, ada bapak dengan kumis tebalnya memakai seragam, tersenyum gagah sambil memegang pundak ibu.
Semua yang pernah berkunjung ke rumah kami, pasti pernah lihat foto itu, karena begitu besar ukurannya--tepatnya 10R--dibungkus pigura emas yang sisi tepinya selalu seperti bercahaya ketika lampu ruang tamu menyala. Apalagi, letaknya benar-benar lurus searah pandangan orang seusai membuka pintu.
Foto kedua yang ibu selalu banggakan setelah foto itu adalah foto kakak saya yang menikah lima tahun lalu bersama suaminya, ketika bapak masih ada. Saat ibu memandang foto itu, akan terdengar kisah-kisah mengharukan yang selalu saja diceritakan pada saya, dengan begitu bersemangat dan berapi-api, seolah-olah cerita itu baru, padahal sudah beribu-ribu kali saya mendengarnya.Â
Berhubung rambut ibu sudah putih semua, saya memaklumi dan memasrahkan diri dengan duduk di dekatnya, terpaksa setia mendengar ceritanya. Apakah memang bila semakin tua semakin sering menceritakan kisah yang itu-itu saja?
"Nani, coba lihat foto ini," ujar ibu. Tangannya mengambil foto itu dari gantungan paku di dinding. Dia mengelus-elus wajah kakak.
"Iya, kenapa Bu?" jawab saya datar. Saya sudah hafal kalimat setelah itu. "Dulu waktu Lina mau menikah, kamu tahu tidak, Bapakmu sampai jual tanah lho, agar biaya pernikahannya ada. Hebat kan Bapakmu?" gumam saya.
"Dulu waktu Lina mau menikah, kamu tahu tidak, Bapakmu sampai jual tanah lho, agar biaya pernikahannya ada. Hebat kan Bapakmu?" kata ibu tepat beberapa detik setelah saya bergumam.
Saya mengambil napas panjang. Lalu mengembuskannya bersama berjuta-juta rasa jenuh yang siap-siap saya usir dengan secangkir kopi yang sudah saya seduh sepuluh menit lalu sebelum kisah itu diceritakan.