"Keputusan saya sudah bulat, Bu. Tidak bisa ditawar lagi!
"Tapi, kenapa harus Sulepret? Dia kan ingin melanjutkan sekolah ke kota. Kenapa bapak harus paksa dia menggantikan bapak?"
Lelaki itu tidak menjawab. Ia batuk-batuk, seperti ada kulit ubi tersumbat di kerongkongannya. Tangannya lekas mengambil segelas kopi. Meneguknya.
Lelaki itu adalah seorang pedagang satu-satunya di kampung itu. Kekayaannya terhitung paling besar dari semua warga. Ia sanggup mendatangkan truk-truk berisi bahan makanan dari kota, untuk kemudian dijual pada warga dengan bayaran berupa beras-beras hasil panen.Â
Lalu, beras-beras itu dia jual dengan harga lebih mahal ke kota. Dia mendapatkan untung berkali-kali lipat. Rumahnya lima buah. Sawahnya berhektar-hektar. Usaha ternaknya ada tujuh cabang.
Para warga tidak berdaya menandinginya. Pernah ada seorang warga mencoba membuka usaha dagang, tetapi tidak berhasil. Warungnya terbakar. Jualannya ludes menjadi abu. Warga lain pun mencoba, tetapi hasilnya sama. Kerugian yang diderita malah lebih parah. Anehnya, penjahatnya tidak pernah ditemukan.
Sejak saat itu, warga memilih bertani saja dan menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup pada lelaki itu. Karena begitu bergantungnya, maka lelaki itu mereka tunjuk sebagai kepala kampung. Sudah lima tahun ia menjabat.
"Demi usaha kita, Bu!"
"Tapi bapak harus hati-hati. Lawannya Surimin, Pak. Bapak tahu kan, banyak warga suka sama dia."
"Tenang. Itu bisa diatur."
Pada hari lain dalam sebuah rumah di salah satu sudut kampung, seorang lelaki berumur tiga puluh tahun sibuk menulis di atas kertas. Nama-nama warga yang bersedia menyumbang suaranya dibacanya satu demi satu. Sebetulnya, dia tidak ingin maju sebagai kepala kampung. Tetapi, beberapa petani mendesaknya.