Sulepret dan kedua warga itu memaksa masuk. Sambil menutup hidung karena bau kemenyan begitu menyengat, mereka mengubrak-abrik rumah Surimin. Dari ruang tamu, ruang tengah, hingga kamar belakang semua digeledah. Semua begitu gelap. Sulepret menyalakan senter.
"Hei.. hei...heii... Ada apa ini? Bapak-bapak tidak sopan!" sergah Surimin. Dia merasa keberatan Sulepret memeriksa tanpa izin. Sulepret masih saja sibuk menggeledah.
"Saya sudah tidak main dukun lagi, Pak." Surimin duduk di kursi goyang di ruang tengah. Dia menyalakan sebatang rokok.
"Bapak curi anak buat tumbal kan?" Sulepret menuduh.
"Hei..hei....hei... Mana buktinya? Jangan asal tuduh begitu!"
Kedua warga itu berkumpul di ruang tengah. Mereka sedikit kecewa. Tidak ada bukti barang senjata tajam. Keris-keris pun takada.
"Sudah saya bilang. Saya sudah tidak pakai ilmu hitam!"
Sulepret mengerutkan dahi. Dia berusaha percaya tetapi agak sulit. Masih ada tanda tanya dalam benaknya. Sebagai warga, Surimin memang paling mencurigakan. Dia hanya keluar waktu tengah malam, untuk mencari angin. Katanya.
Surimin mengambil napas panjang. Setelah mengisap kencang-kencang rokoknya, dengan asap mengepul dari bibir, dia berkata: "Kalau kalian mau cari penjahat itu, cepat! Sebelum dia kabur dari desa ini. Saya hanya bisa bilang, penjahat itu laki-laki."
"Jangan-jangan kau pelakunya?" salah satu warga masih sulit percaya.
"Bukan-bukan. Menurut penerawangan saya, penjahat itu laki-laki. Dia masih berada di desa ini."