Semakin aku berteriak minta tolong, semakin mereka menyiksaku. Masih lekat di benakku, bagaimana mereka menelanjangiku beramai-ramai, bahkan mengikat tanganku hingga uratku hampir putus. Mereka betul-betul binatang.
Kini, aku tak suci lagi. Entah apa gunanya aku hidup di dunia ini. Makan, utang sana sini. Berjalan di jalanan, dipandang sebelah mata oleh ojek kampungan. Di rumah megah hanya sebagai patung, di jalanan semakin luntang-lantung. Kudengar kalian pun tak mencariku lagi. Aku juga tak ingin dicari lagi.
Kuputuskan mengakhiri hidup ini. Dengan puluhan butir ekstasi yang kumakan berkali-kali, aku berencana overdosis meninggalkan semua ini. Semoga nanti, bila dilahirkan kembali, aku bisa meminta menjadi apa. Terutama, punya orangtua seperti apa.
"Selamat tinggal"
Lembaran demi lembaran itu dibacakan di pemakamanku. Guyuran hujan deras dan kumpulan awan gelap menggelayuti hari itu. Banyak orang mitra kerja kalian berpakaian hitam tanda turut berkabung atas kepergianku. Halaman di luar pun tak cukup menampung bunga-bunga dukacita itu.
Seperti biasa, kota ini memang mati tanpa kalian. Kalianlah dewa, pemimpin di belakang layar. Penentu nasib dan jumlah orang terlantar. Penggerak roda perekonomian dan pemerintahan.
Kalian sendiri, kulihat tak sedikitpun menangis. Ponsel kalian berdering berkali-kali, seolah merengek meminta diangkat. Bawahan kalianlah yang menutup liang lahatku.
Entah, aku ini sebetulnya siapa bagi kalian.
...
Jakarta
30 November 2020
Sang Babu Rakyat