Iya, kalian memang hebat. Satu titik terucap bisa menyelesaikan segala masalah. Dengan kedipan mata, aku yakin bawahan kalian bergerak secepat kilat. Aku masih ingat. Dulu, saat meminta roti di kota sebelah, dalam hitungan detik, tanpa pergantian jam, roti itu sudah datang di depan mataku. Namanya Jono, bawahan kalian yang mengantarkan itu.
Bawahanku pun sama banyaknya dengan kalian. Mungkin, aku sudah kalian rencanakan menjadi penerus. Jangan sampai tanganku terluka dan badanku lecet sedikitpun. Itu perkataan Susi, bawahan kalian yang bertugas sebagai salah satu pembantuku. Menemani kehidupan sehari-hariku.Â
Lembar kedua
Membaca kata demi kata dalam tulisan kalian di surat kabar, sangat menginspirasiku. Kalian berbagi kiat-kiat berhasil di dunia usaha. Bagaimana bercerita membangun bisnis dari nol, tanpa usaha bahkan berutang, hingga akhirnya perusahaan kalian diperhitungkan di kota ini.
Semua surat kabar yang kubaca setiap pagi, takada tulisan kalian yang absen. Selalu hadir di rubrik motivasi, dengan kisah rutin kalian serta semangat membara, mengajak pembaca berusaha.
Berbagai buku telah kalian terbitkan. Aku salut. Beberapa di antaranya menjadi best seller. Kalian pun sibuk dengan agenda jumpa fans. Dengan setia, membubuhkan tanda tangan di setiap buku untuk beribu-ribu penggemar. Kalian tidak lelah kutangkap melakukan itu.
Ketika berdebat di televisi, aku juga kagum dengan tutur kata kalian. Selalu saja pertanyaan bisa dijawab. Kalian tidak mengalihkan pembicaraan. Bahkan, yang bertanya kelabakan. Pernah kulihat, malah hanya terpukau mendengar jawaban kalian.
Aku juga tahu anak perusahaan kalian banyak. Uang kalian beredar pula di mana-mana. Tanah, saham, obligasi, dan rumah ada di portofolio kalian. Rumah gedung yang kutempati ini hanya secuil dari harta kalian.
Lembar ketiga
Sebagai penerus yang kalian harapkan, sebetulnya aku tidak nyaman. Di sekolah, aku diejek sama teman-teman. "Karena siapa?" Karena bawahan kalian, yang kalian utus dua puluh empat jam tidak boleh tidak ada bersamaku.
Bayangkan, dia duduk di luar ruang kelasku. Aku sudah remaja, tak perlu ditunggu seperti itu. Tapi, karena ambisi kalian, memastikan agar tanganku tidak terluka dan badanku tak lecet sedikitpun, kalian berbuat gila seperti itu.