Entah sudah berapa kali aku menghadiri pernikahan. Tak terhitung banyaknya. Menyaksikan mereka duduk bersanding di pelaminan, bersama kekasih tercinta, menjadi pemandangan yang acap kurindukan. Segera terjadi dalam hidupku.
Setiap mengucapkan selamat kepada pengantin, aku selalu kesal dengan tanggapan balik mereka. "Kapan nyusul" Pertanyaan yang paling tidak bisa kujawab. Kendati aku telah bergelar magister, tak bisa kutemukan jawabannya.
Iya, sebagai wanita, aku di posisi menunggu. Tahun ini, aku menginjak seperempat abad. Umur yang cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Telat malah, karena teman seumurku sudah pada menikah. Bahkah, ada yang memiliki anak berumur delapan tahun.
Nakhodaku sudah ada. Namanya Steven. Kami merajut cinta dua tahun lamanya. Tahun ini, rencananya, dia memberanikan diri meminangku.
***
"Berapa mahar yang Steven ajukan?" Tanya mama di perbincangan kami di ruang tengah. Saat itu, ada mama, aku, dan kedua adikku. Papa sudah lama tidak ada.
"Lima puluh juta, Ma" Aku menjawab.
"Hanya segitu?" Bahu mama naik. Tangannya bersedekap.
"Iya Ma, kemarin Steven bilangnya begitu"
"Kalau begitu, gag jadi. Kamu gag jadi kawin. Bilang sama Steven, kalian putus sekarang!"Â
Seketika seperti ada petir di siang bolong. Kabar mengejutkan yang tidak pernah ingin kudengar.