Tulisan ini tercipta sebagai bentuk euforiaku, telah berhasil menyelesaikan cerpen Rindu Hujan dengan lima seri (I, II, III, IV, dan V). Kendati abal-abal, wkakakaka...
Anda pernah merasa kesal karena seseorang? Ingin marah dan membalasnya? Ketika hendak melampiaskan, tidak jadi karena takut melukai orang? Baik sekali Anda. Aku tahu rasanya di posisi itu.Â
Atau, tidak jadi marah karena takut reputasi sebagai orang baik ternoda? Memang, sekali kita berbuat buruk, itu yang berkali-kali diingat orang. Kenyataan di lapangan. Reputasi yang dibangun bertahun-tahun, rusak gegara sekali berbuat buruk. Kalau kata orang bijak,Â
Panas setahun dihapus hujan sehari.
Ibuku sendiri pernah berkata "Kalau kamu membalas keburukan dengan keburukan, apa bedanya kamu dengan orang buruk itu?" Itu terus yang menjadi pedomanku, sehingga sering tidak bebas dalam meluapkan emosi. Mengendap kan? Benar, dan kurasakan kelamaan sebetulnya tidak baik buat kesehatan jiwa.
Ternyata, di fiksi ada solusi. Agar semua emosi kita tertumpahkan baik, sehingga jiwa lebih sehat, mari bergelut dalam cerita fiksi. Di KBBI, fiksi berarti tiga:
- n     Sas cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya)
- n     rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan: nama Menak Moncer adalah nama tokoh --, bukan tokoh sejarah
- n     pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran
Dari ketiganya, disimpulkan bahwa fiksi adalah cerita khayalan, tidak nyata. Kendati, ada juga inspirasi menulis fiksi dari kisah nyata. Bahkan, kisah penulisnya sendiri. Kalau kisah sendiri, tanpa perlu membaca cerita fiksi lain, lancar tuh idenya. Cukup menuangkan apa yang dialami dan dirasakan.
Karena tidak nyata, menulis cerita fiksi tidak terikat patokan. Alurnya mau maju mundur silakan, cerita orang hidup atau menjadi arwah juga silakan. Bebas. Tetapi, kita sebaiknya tetap memperkaya kata dan teknik bercerita dari membaca karya orang lain. Agar, pembaca juga bisa menikmati karya kita. Aku sendiri di Kompasiana lagi kabur dari artikel opini, sedang asyik belajar dan menyelam di lautan fiksi, wkakakaka...
Di fiksi (kalau di Kompasiana, kanal yang lebih sedikit pembacanya), kita juga bisa menjadi "Tuhan". Asyik sekali menjadi "Tuhan", percaya deh.
Bebas menentukan nasib orang