Perasaan yang berbeda muncul ketika saya memasuki Kompleks Dirgantara Indonesia di awal tahun 2011. Perasaan seperti mengunjungi kembali tempat masa kecil yang suram dan renta. Jauh berbeda ketika saya mengunjungi tempat ini sekitar tahun 1986. Terkesan angkuh dan sangat percaya diri menatap angkasa Indonesia yang menjadi miliknya. ribuan karyawan bekerja di kompleks yang luas. Gedung-gedung baru dibangun lengkap dengan peralatan teknologi termutakhir. Karyawannyapun tidak sembarangan. Lebih dari seperempat lulusan1975-1985 institut terdepan di negeri ini bekerja di tempat ini. Belum termasuk lulusan terbaik dari Universitas di Eropa dan Amerika. sampai-sampai untuk membatasi hanya bibit unggul yang boleh bekerja di tempat ini muncul rumor adanya pembatasan lulusan universitas tertentu saja yang bisa masuk bekerja. Sayapun dulu sempat bercita-cita untuk bekerja di tempat ini setelah lulus nanti. suatu masa depan yang cemerlang sebagai pemimpin Asia di bidang penerbangan.
Saya tidak tahu apa yang terjadi dalam rentang waktu 25 tahun, tapi yang pasti di sisi sepanjang jalan menuju gerbang masuk tampak rumput liar tumbuh meninggi. Begitu masuk ke dalam areal perusahaan yang maha luas suasana lenggang sangat terasa. Belum lagi gedung-gedung bertingkat dan hanggar-hanggar yang tampak kusam, kosong melompong dan berkarat di makan usia. Cuaca Bandung yang dingin siang itu menambah dingin dan haru suasana hati melihat tenggelamnya salah satu kejayaan masa lalu. Kami dibawa berkeliling ke beberapa area produksi yang masih berjalan. tidak banyak memang, tapi tetap masih menyisakan bentuk tempat produksi terbesar yang pernah ada di bumi pertiwi ini. Peralatan-peralatan besar pemotong alumunium, pembentuk pesawat, laboratorium simulasi, lorong angin masih terlihat perkasa namun kesepian tak tersentuh tangan-tangan terampil. Pekerja-pekerja yang tersisa terlihat berusia tidak muda lagi. Bahkan dari gambaran statsitik yang kami peroleh lebih dari setengahnya akan pensiun dalam 1-5 tahun ke depan. Kemanakah hai para pemuda kebanggaan bangsa yang dahulu memenuhi tempat ini? Boeing, Casa, Airbus, Bombardier adalah tempat pelabuhan mereka setelah rembang senja merebak di perusahaan ini. Dengan bangga para pekerja di situ menceritakan kisah sukses rekan-rekan mereka yang kini menduduki posisi strategis di perusahaan-perusahaan pembuat pesawat ternama. Jumlahnya ratusan! Berarti ada ratusan dikalikan dengan biaya pendidikan S2 dan S3 yang dikeluarkan Dirgantara Indonesia waktu itu yang hasilnya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Sementara sang ibu yang menyekolahkan mereka tengah tenggelam di ufuk barat entah karena kesalahan manajemen atau karena ambisi yang kelewat besar. Hanya rumput bergoyang yang bisa menjawabnya.
Tapi hari berganti hari, rembang senja bisa berganti pagi yang mempesona. Asal tidak mengulangi kesalahan yang sama, Dirgantara Indonesia masih memiliki harapan menatap masa depan dengan kerendahan hati yang dalam. Produksi CN-235 untuk Korea dan turki masih dikerjakan. Helikopter Super Pumapun masih mampu mereka produksi di tengah segala keterbatasan. Desain N-250 dan N-2130 yang sempat terhenti di tengah jalan juga masih mungkin untuk dilanjutkan. Biarlah yang telah berlalu tetap berlalu, jangan biarkan industri strategis ini tenggelam menuju peraduannya. Mari bantu dia, Sang Penguasa Digantara Indonesia, mengembangkan sayap menyongsong masa depan yang lebih baik dengan kerendahan hati. Dengan membawa harapan itu sayapun beranjak dari sana dikala rembang senja menjelang dan bunyi azan magrib bersaut-sautan di kejauhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI