Emangnya laki se-Indonesia tau cara nyetir mobil, nyetir motor, seimbangin sepeda roda dua? Aku balas tantanganmu pakai realitas yang di depan mata tapi kamu gak lihat ketutup patriarki."
Padahal pertanyaan dari saya cukup sederhana, "Bisa dan mau gak feminis seperti ini?", namun tanggapannya malah lari jauh dengan menghadirkan pernyataan baru. Tipe orang yang seperti itu merupakan tipe orang yang mempunyai logical fallacy.
Kemudian saya kembali menegaskan kepada dia, "Intinya, bisa atau enggak bisa, itu tergantung dari kemauan. Jika kamu tidak bisa melakukan seperti yang ada di video itu, artinya kamu malas. Belum mencoba kok sudah nyerah duluan."Â
Kalau seorang wanita yang mengaku sebagai feminis sejati, pasti tidak akan menolak jika saya beri tantangan seperti video yang saya bahas. Namun kebanyakan feminis jaman sekarang, mudah insecure dan mengatai orang lain (pria) sebagai pelanggeng budaya patriarki.
Padahal kuncinya sederhana, mencoba dulu (melakukan pekerjaan pria). Dan yang membuat saya semakin bingung adalah, ketika orang itu berkata "Sini bambangg kirim sekup sama kerikil ke rumah aing.Â
Gak punya uang coba beli kerikil, alamat nanti gua DM kalau sudah ada resi pembelian." Kemudian saya membalas, "Loh, ngapain saya mesti membelikan sekup dan kerikil?Â
Pasti di rumahmu ada pacul kan? Kalau engga punya, bisa pinjam ke tetangga. Setelah dapat paculnya, silahkan kamu macul selama beberapa menit sambil direkam , lalu kirimkan ke saya videonya."
Orang itu tidak mau melakukan tantangan yang saya tujukan kepadanya, malah membalas lagi, "Mending malas daripada goblok." Nah, statement yang ini adalah statement yang membuat saya semakin antipati dengan feminisme setengah matang. Kenapa? Dari pernyataannya saja sudah salah, kok.Â
Manusia jika ingin survive dan tetap hidup, harus bisa meninggalkan sikap malas. Karena apa? Mau berpendidikan atau tidak, apapun gender serta orientasi seksualnya, jika ia tidak memiliki sikap malas, pasti akan melakukan pekerjaan apapun (termasuk jadi kuli bangunan) agar tetap bisa melanjutkan hidup.Â
Nah kalau malas? Malah semakin merepotkan pemerintah, minimal orang di sekitarnya, karena ia tidak ada niatan untuk hidup mandiri, kerja seadanya, dan hanya mengandalkan orang lain karena sikap malasnya.
Tidak masalah wanita/istri memilih untuk menyiapkan bekal, mengerjakan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh kaum pria, selama di antara mereka sudah ada kesepakatan. Tukar peran rumah tangga pun, tidak menjadi masalah. Toh, salah satu esensi dari pernikahan yaitu, saling melengkapi satu sama lain.Â