Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sintesa Peradaban

23 Agustus 2019   14:25 Diperbarui: 23 Agustus 2019   14:34 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Hara Nirankara

Persetan dengan yang namanya kenyataan. Aku tak perlu gentar meladeni mulut-mulut sampah yang selalu menghunus perasaanku. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari yang namanya pahit kehidupan. Mereka bisa saja dengan angkuh menghujat, menodai segenap kepercayaan yang telah aku beri. Tapi punya kuasa apa mereka terhadap diriku? Hingga dengan kejamnya menaburkan racun tepat ke mataku. Burung-burung itu tak pernah takut jika sangkarnya terbawa angin, rusak akibat miliaran debu yang menghantam. Rusak, bikin lagi. Rusak, bikin lagi. Semut-semut itu tak pernah takut sarangnya terinjak. Dinjak, lawan. Diinjak, lawan.


Sedang aku? Aku lebih hebat dari burung. Lebih kuar dari semut. Tak ada yang perlu dikhawatirkan jika mereka menyerangku, menuduhku dengan fakta semu relatif. Aku hanya perlu belajar, hanya perlu memperbaiki. Pertahananku akan semakin kuat jika banyak orang yang membongkar kelemahanku. Sedang mereka? Sibuk membongkar, mengkoreksi, tapi tak pernah belajar. Ya, mereka tak pernah belajar dari pengalamanku yang selalu bangkit dan bangkit. Yang selalu kuat dan tetap kuat. Karena bagaimana pun, hidup akan terus berjalan. Tak ada gunanya menyerah dengan keadaan. Terlebih, kalah oleh omongan-omongan setan.


Tirani mutlak mereka ciptakan, perlahan membelenggu kebebasan dengan penilaian nir kebenaran. Orang-orang di luar sana hanya bisa menilai, mengomentari tentang jalan hidup yang aku pilih. Aku tak perlu membuktikan dengan sejuta argumen. Aku tak perlu heran dan kecewa jika suatu saat mereka semakin ganas menerkamku. Bagiku, tak ada yang lebih nikmat selain berjuang, berbenah, dan yakin kepada diriku sendiri.


Orang-orang mungkin lupa, ada sedikit orang yang hanya diam ketika diremehkan. Sedang sedikit orang yang diam itu terus bergeriliya di balik kesakitan yang mereka tanggung. Hingga suatu saat akan tercipta banyak sekali bom atom, yang membisukan orang-orang yang lupa itu. Duuaaar! Mampus kau. Duuuaarrr! Sekaratlah kau. Duaaarrr! Malulah kau. Mereka yang lupa itu akan tumbang satu per satu. Mereka yang lupa itu akan bisu satu per satu. Sedang bom atom itu adalah benih yang senantiasa aku rawat, aku besarkan, hingga terciptalah buah yang manis. Buah-buah yang manis itu akan aku berikan kepada orang-orang yang mengerti keadaanku, untuk orang-orang selalu tegar berada di sisiku. Sedang mereka yang lupa, akan semakin lupa dengan meminta buahku. Untuk apa? Tak sudi aku memberikan buah yang dulunya kau pertanyakan! Kau caci!


Persetan aku dibilang egois. Persetan aku dibilang pendendam. Sedang mereka yang memaafkan hanyalah kumpulan orang lemah. Yang suatu saat akan mengulangi sejarah yang sama. Diremehkan. Disakiti. Dihina. Dan masihkah kalian akan memafkan? Membagi buah manis yang berulang kali dihinakan, oleh orang-orang yang sama? Goblok! Kau itu lemah, hai manusia. Selamanya kau akan tetap diremehkan jika merawat sebuah penyakit.


Mungkin Tuhan dan kumpulan orang bijak membenci sifat dendam. Tapi peduli setan? Sesekali mereka kudu diberi pelajaran, bahwa menjadi manusia itu tidaklah gampang. Ada orang yang perlu kau perhatikan, ada orang yang perlu kau acuhkan, ada orang yang perlu kau lindungi, ada orang yang perlu kau dengarkan. Kau tidak bisa memandang sebelah mata seorang pelacur, sedang pelacur itu tiap harinya menghidupi manusia tua yang teramat renta? Sedang kamu? Membersihkan riak ibumu yang sudah sepuh saja pastilah jijik. Dan beradabkah kalian yang mengaku sebagai seorang manusia?


Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Tapi banyak juga buah yang justru berbanding terbalik dari pohonnya. Tidak usah bicara masalah moral jika moralmu sendiri masih jauh dari kata layak. Tak perlu mencaci jika kau sendiri masih banyak kekurangan.


"Teruslah melangkah, kawanku. Tak ada yang tahu kita akan berakhir seperti apa." Hara Nirankara

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun