Mohon tunggu...
Reiza Patters
Reiza Patters Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just an ordinary guy..Who loves his family... :D

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kritik Atas Teori Penetrasi Sosial Altman & Taylor

16 Juni 2010   02:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:31 6451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1356544485482371312

Salah satu kritik terhadap pemikiran Teori Penetrasi Sosial (Altman & Taylor) adalah adanya keraguan apakah setiap orang senantiasa berorientasi ekonomi. Analisa kritik ini dimulai dengan mengulas mengenai teori penetrasi sosial. Teori ini bermula dari teori pertukaran sosial yang menyatakan segala bentuk relasi sosial manusia berdasarkan pada bentuk-bentuk pertukaran di antara para pelaku interaksi sosial tersebut. Selanjutnya teori ini diterapkan dalam bentuk komunikasi interpersonal, dimana dasar melakukan komunikasi karena adanya prinsip transaksi antar pelaku komunikasi. Altman & Taylor menyatakan bahwa kepribadian manusia berlapis-lapis seperti lapisan bawang. Setiap lapisan menunjukkan kedalaman kepribadian seseorang. Pada umumnya saat berkomunikasi, manusia hanya mengaktifkan lapisan terluar. Sedangkan lapisan-lapisan dalam hanya dapat diakses oleh antar pelaku komunikasi yang memiliki hubungan dekat. Kedalaman penetrasi menujukkan kedalam pengungkapan probadi oleh sesorang. Oleh karena sifat komunikasinya antar individu, maka komunikasi dalam teori ini termasuk komunikasi interpersonal. Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah, memiliki beberapa layer atau lapisan kepribadian. Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi. Lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, ada lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan kepribadian yang lebih bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang tertentu saja. Lapisan yang paling dalam adalah wilayah private, di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh siapapun, akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling berperan dalam kehidupan seseorang. Dalam perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa hal yaitu pertama kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada lapisan terluar dari diri kita. Semakin mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit pula. Kedua keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat timbal-balik, terutama pada tahap awal dalam suatu hubungan. Pada awal suatu hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka diri, dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Tapi semakin dalam atau semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, keterbukaan tersebut semakin berjalan lambat dan semakin tidak bersifat timbal balik. Ketiga penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang ketika semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Akan ada banyak faktor yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya hubungan tersebut akan lebih stabil dan dan bertahan lama. Keempat depenetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin memudar. Maksudnya adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka keduanya akan berusaha semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya bertahap, dan semakin memudar. Dalam teori penetrasi sosial, kedalaman suatu hubungan adalah penting. Tapi, keluasan ternyata juga sama pentingnya. Dalam beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi kita bisa sangat terbuka kepada seseorang yang dekat dengan kita, tetapi bukan berarti juga kita dapat membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya. Karena hanya ada satu area saja yang terbuka bagi orang lain. Maka terdapat hubungan yang mendalam tetapi tidak meluas (depth without breadth) dan luas tapi tidak mendalam (breadth without depth). Hubungan intim adalah dalam dan luas. Dalam (depth) adalah jumlah informasi yang tersedia pada tiap topik, sedangkan luas (breadth) merupakan susunan yang berurutan atau keragaman topik yang merasuk ke dalam kehidupan individu. Dalam teori penetrasi sosial terdapat empat langkah perkembangan hubungan yaitu: 1. Orientation, yang mengandung komunikasi impersonal di mana seseorang memberitahu hanya informasi yang sangat umum mengenai dirinya sendiri. Jika tahap ini menghasilkan reward pada partisipan, mereka akan bergerak ke tahap berikutnya. 2. The Exploratory Affective Exchange yaitu perluasan / ekspansi awal informasi dan gerakan menuju level lebih dalam dari disclosure itu terjadi. 3. Affective Exchange yang memusatkan pada perasaan evaluatif dan kritis pada level yang lebih dalam. 4. Stable Exchange adalah keakraban yang sangat tinggi dan mengijinkan partner untuk meramalkan setiap tindakan pihak lain dan menanggapinya dengan sangat baik. Seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori penetrasi sosial ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis). Setelah perkenalan dengan seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor untung-rugi dalam hubungan kita dengan orang tersebut, atau disebut dengan indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational satisfaction). Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold Kelley (1952) tentang konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut mereka dalam konsep pertukaran sosial, sejumlah hal yang penting antara lain adalah soal relational outcomes, relational satisfaction, dan relational stability. Dalam hal prinsip untung rugi ini, pandangan ini menganggap seolah-olah setiap manusia senantiasa berorientasi ekonomi. Hal ini mungkin saja bisa terjadi pada masyarakat modern yang cenderung liberal dan kapitalistis. Dimana hal ini kurang dapat berkembang di Indonesia, yang memiliki corak budaya feodalisme yang kental, sosialisme gotong royong yang sangat kuat, dimana bentuk hubungan bukan saja ditentukan oleh prinsip untung rugi, namun juga patronisasi status sosial setiap orang dan budaya ramah tamah yang tidak hanya merujuk pada prinsip untung rugi namun juga kecenderungan untuk berbasa-basi sebagai bentuk hubungan rutin bertetangga dan bermasyarakat. Menurut teori pertukaran sosial, kita sebenarnya kesulitan dalam menentukan atau memprediksi keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Karena secara psikologis apa yang dianggap sebagai “keuntungan” tadi berbeda-beda tiap-tiap orang. Teori pertukaran sosial mengajukan dua standar umum tentang apa-apa yang dijadikan perbandingan atau tolok ukur dalam mengevaluasi suatu hubungan interpersonal. 1. Relative satisfaction (kepuasan relatif): seberapa jauh hubungan interpersonal tersebut dapat membuat kita bahagia atau justru tidak bahagia. Thibaut dan Kelley menyebut hal ini sebagai comparison level 2. Yang kedua, oleh Thibaut dan Kelley disebut sebagai the comparison level of alternatives. Pada tahapan ini kita memunculkan suatu pertanyaan dalam hubungan interpersonal kita. Kita mulai mempertanyakan kemungkinan apa yang ada di luar hubungan yang sedang dijalani tersebut. Dalam hal ini, sangat jelas bahwa prinsip Teori Penetrasi sosial menyatakan bahwa setiap hubungan yang terbentuk ditentukan oleh prinsip untung rugi. Namun, saat itu pulalah kritik terhadap hal ini muncul, bahwa seringkali cepat-lambatnya suatu hubungan tidak bersifat disengaja atau bisa diprediksikan sebelumnya. Ada kalanya ketika kita dengan terpaksa harus cepat mengakrabkan diri dengan seseorang tertentu, dan kita tidak memiliki pilihan yang lain. Kita juga sering merasa bahwa dalam suatu hubungan interpersonal bahwa segalanya tidak melulu tentang diri kita, tentang apa keuntungan yang kita dapatkan dalam hubungan tersebut. Bahkan kita seringkali merasa senang bahwa teman kita mendapatkan suatu keuntungan atau kabar yang menggembirakan. Walaupun hal itu bukan terjadi pada diri kita, ternyata kita juga mampu untuk turut berbahagia. Hal ini juga tidak mampu dijelaskan dalam teori tersebut. Dalam kaitanya dengan karakteristik masyarakat dan budaya Indonesia, menurut Ferdinand Tonnies (dalam Sztompka, Piotr, 2005) kita mengenal Paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gessellschaft) sebagai bentuk organisasi sosial. Paguyuban merupakan bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggota diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kehidupan tersebut bersifat nyata dan organis sebagaiman dapat diumpamakan dengan organ tubuh manusia atau hewan. Bentuk paguyuban terutama akan dapat dijumpai di dalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga, dan lain sebagainya. Suatu paguyuban mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut: 1. Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Didalam pertumbuhannya masyarakat yang semacam ini makin lama makin menipis, contoh : Kekerabatan, masyarakat-masyarakat daerah yang terdapat di DI. Yogyakarta, Solo, dan sebagainya. 2. Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling menolong, contoh : RT dan RW. 3. Gemeinschaft of mind, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideologi atau pikiran yang sama, seperti agama. Sedangkan Patembayan merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Bentuk patembayan terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik misalnya ikatan antarpedagang, organisasi pegawai dalam suatu pabrik atau industri. Bentuk organisasi sosial ini adalah yang paling cocok untuk menjelaskan penerapan teori penetrasi sosial, dimana hubungan timbal balik, percampuran berbagai kepentingan pribadi atau kelompok sangat mendasari terbentuknya hubungan. Dalam konteks karakteristik masyarakat dan budaya Indonesia, kritik atas Teori Penetrasi sosial dapat di jelaskan oleh bentuk masyarakat Paguyuban, dimana hubungan terbentuk dari sesuatu hubungan batin yang murni, bersifat alamiah dan kekal. Dimana ikatan darah dan keturunan, kekerabatan kedaerahan, rasa gotong royong dalam bertetangga serta kedekatan karena kesamaan agama dan kepercayaan, lebih emndasari terbentuknya hubungan daripada hanya sekedar prinsip untung rugi dalam teori penetrasi sosial ini. Reff: Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial (alih bahasa oleh Alimandan), Prenada Media, Jakarta: 2005


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun