Mohon tunggu...
Hisyam Suratin
Hisyam Suratin Mohon Tunggu... Konsultan - but first, coffee.

Penikmat kopi yang menceritakan kembali isu sosial, seni dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ego atau Passion?

7 Juni 2015   02:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalam, saya punya obrolan yang menarik. Kita ngobrol masalah ego. Bagi saya, hari ini saya melakukan apa yang disebut passion, satu hal yang menggetarkan otak dan rasa sehingga membuat saya bertaruh segalanya untuk itu.
Saya menikmatinya, saya bahkan rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, hingga materi yang saya miliki. Saya bergumam pada Tuhan, saya menyukai hal ini, terima kasih Tuhan.
Lalu seorang teman yang datang menemui saya di warung nasi goreng, menyapa sambil memesan makan. Waktu itu pukul 23.00 wib. Dia datang setelah saya menelponnya untuk minta bantuan.
Sambil jalan menghampiri saya dia berkata, "kamu tahu dan sadar ego itu ada dimana?" Saya cuma terdiam, menunggu dia melanjutkan.
"Kita tak jarang bersembunyi dibalik rasa suka, kenikmatan, atau alasan - alasan lain yang menumbuhkan semangat, setelah pendapat dan pemikiran kita terpatahkan oleh kenyataan" ucapnya sambil duduk dan melepas jaket tebal yang dikenakannya.
"Apa kabar kuliahmu?" Sambungnya. Saya terdiam, tak ada sanggahan.
Dia masih berlanjut dengan ceritanya "Itu ceritaku, semua sederhana. Kita harus tahu prioritas. Tidak ada masalah yang selesai dengan mengabaikannya. Atau menutupi kalau masalah itu memang ada" ucapnya, sambil memakan nasi goreng yang sudah di tangannya.
Diskusi kita semakin panjang, saya cerita permainan catur yang saya hadapi. Dia tak mau kalah, bahkan ada cerita dengan akurasi tembakan 99% miliknya, yang sukses menjebak penipu.
"Kalau kita itu cuma punya pistol, jangan nembak dari jarak jauh. Kita dekati lalu tembak tepat di dada kirinya" begitu dia menganalogikan kasusnya.
Dia lanjut dengan hedonisme pikirannya yang semakin liar. Dia meraba setiap jengkal sisi di ranah politiknya. Bukan politik praktis memang. Dia menambah dengan studi kasus yang dibacanya.
Kita memang sudah saling membaca karakter. Kita bisa berbicara dengan telinga masing - masing.
Pengalaman dan pola strategi yang membawa kami mengabaikan malam saat itu, sukses meracuni rasa lelah.
Dan dia tiba - tiba berucap "Saya sadar ketika saya melihat dan merasa mengganjal ketika menjalankan hal yang saya sebut passion. Saya sadar hanya bersembunyi dibalik status sosial dengan pekerjaan yang saya miliki saat itu. Saya lupa dengan tujuan yang pernah saya miliki. Saya pelajar. Saya belum rampung."
"Saya sadar ketika ego itu mulai merasuk dan meracuni setiap bagian dari otak dan rasa yang saya miliki. Saya menyadarinya itu sebagai passion." Sambungnya.
Dan dia menutup malam itu "Ego itu berbeda dengan passion. Kamu harus sadar. Buka mata, lihat cermin siapa dirimu. Jangan memakai dua seragam. Pakai satu, lalu lepas. Baru pakai yang satunya. Jangan kemaruk" tuturnya, sembari mengankat jaket tebal yang dilepasnya tadi.
Saya terdiam, saya mengakui kebenarannya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun