Mohon tunggu...
Himmatus Saidah
Himmatus Saidah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

@himmassdh

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mengokohkan Kode Etik Guru Pada Kompetensi Manusia Berpancasila dalam Membangun Sikap Toleransi dan Kesetaraan

13 Juni 2021   17:55 Diperbarui: 13 Juni 2021   17:58 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam kehidupan multikultural, isu toleransi dan kesetaraan menjadi penting untuk ditegakkan. Berbagai ras, suku, Bahasa, dan agama serta status sosial yang ada di Indonesia menuntut kita untuk hidup saling berdampingan dan menghormati satu sama lain. Konflik yang berpotensi muncul di lingkungan masyarakat hendaknya dihindari. Kehidupan aman, tentram, dan damai tentu menjadi cita-cita bangsa. Untuk mewujudkannya, diperlukan kesadaran dan pengetahuan untuk menciptakan sikap toleransi dan kesetaraan tersebut. Dalam lingkungan masyarakat, sekolah menjadi institusi terdekat dengan peserta didik dan orang tua. Di sekolah anak-anak belajar berbagai hal untuk menjunjung tinggi sikap saling menghargai. Tentunya guru menjadi contoh teladan bagi murid-muridnya. Guru dalam melakukan tugas dan pekerjaannya memerlukan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang tertuang dalam kode etik guru. Diperlukan kesadaran yang tinggi terhadap toleransi dan kesetaraan di dalam diri seorang guru. Hal ini sesuai dengan isi kode etik guru yaitu membimbing anak didik untuk membentuk manusia pembangunan yang berpancasila, salah satu maksudnya yaitu manusia yang menjunjung tinggi toleransi dan kesetaraan. Melalui pendidikan, nilai-nilai toleransi dan kesetaraan dapat dijaga sehingga mampu mendorong perkembangan dan keberlangsungan hidup dengan keberagaman.

Pada kenyataannya, permasalahan multikultural yang terjadi di Indonesia masih sulit dihindari, baik di lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan pendidikan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi yang dimiliki masyarakat masih rendah. Adanya stereotip yang timbul di lingkungan masyarakat menjadi salah satu contoh, tak terkecuali para guru di sekolah. Contohnya pada kasus pemaksaan pemakaian jilbab bagi siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang beberapa waktu lalu. Siswi tersebut ditegur oleh guru agar mematuhi peraturan sekolah untuk menggunakan jilbab saat aktivitas belajar. Namun ia menolak karena tidak sesuai dengan kepercayaan yang dimilikinya. Hal ini termasuk intoleransi pendidikan dan keberagaman. Selain itu, media sosial juga sempat diramaikan dengan kasus yang terjadi di SMA Negeri 58 Jakarta dimana salah satu guru ketahuan mengajak anggota rohisnya untuk memilih calon ketua OSIS yang seagama melalui grup Whatsapp. Dia juga mewanti-wanti agar berhati-hati dalam memilih ketua OSIS lantaran salah satu calon berasal dari latar belakang agama yang berbeda. Sikap diskirminatif pada kasus ini menunjukkan bahwa masih terjadi mayoritanisme di masyarakat.

Berdasarkan hasil kuesioner yang sudah disebarkan kepada guru dan calon guru, 60% guru dan calon guru sangat setuju untuk memberikan model pembelajaran empati dengan membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil agar proses interaksi antar kelompok multikultural dapat terjalin. Sebanyak 86% guru dan calon sangat setuju bahwa guru harus mengakui dan menghormati agama lain dengan cara memberikan kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya. Guru dan calon guru juga sudah memiliki kesadaran dalam menghilangkan praktik pendidikan yang bersifat diskriminatif dan akan menanamkan nilai toleransi melalui kegiatan pembelajaran.

Dalam pengurangan prasangka dalam pembelajaran, para guru dan calon guru juga sudah memiliki kesadaran yang baik. Sebanyak 74% guru dan calon guru sangat sadar untuk mengembangkan perilaku positif kepada siswa yang memiliki kesalahpahaman terhadap suku bangsa yang berbeda. Menurut para guru dan calon guru sebanyak 44%, belajar kooperatif dapat memberikan peluang siswa dari berbagai latar belakang untuk saling menghargai karena saling bergantung menyelesaikan tugas dan mereka menerapkan pembelajaran kooperatif karena sangat menguntungkan siswa. Sebesar 78% guru dan calon guru sangat setuju bahwa guru berkewajiban untuk membimbing siswa dengan tujuan membentuk manusia berpancasila. Dalam pendidikan guru membantu siswa mengembangkan daya berpikir secara kreatif melalui komunikasi interpersonal agar tercipta keterbukaan antara guru dan siswa.

Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial menurut 38% guru dan calon guru, sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami sehingga dapat memberikan efisiensi dalam pembelajaran. Sebanyak 34% dan 32% guru dan calon guru sangat setuju dan setuju bahwa guru harus memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri. Pengembangan respek aktivitas sekolah terhadap keragaman etnik dan bersifat fleksibel dalam mengelola keragaman peserta didik penting diterapkan oleh guru. Membangun hak asasi manusia (HAM), membangun sikap anti diskriminasi, memberikan kebebasan berpendapat dan berkreatifitas, dan menghargai kemampuan siswa sangat penting menurut 62% guru dan calon guru.

Berdasarkan hasil kuesioner yang sudah disebarkan kepada guru dan calon guru, dapat disimpulkan bahwa guru dan calon guru sudah memiliki kesadaran yang cukup baik terhadap membangun sikap persamaan yang adil, guru dan calon guru juga sudah memiliki kesadaran yang cukup baik terhadap pentingnya pengurangan prasangka dalam pembelajaran serta pentingnya pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial. Hal ini menunjukkan sikap toleransi dan kesetaraan yang dimiliki oleh guru dan para guru sudah cukup dalam mengokohkan kode etik guru pada kompetensi manusia berpancasila dalam membangun sikap toleransi dan kesetaraan. Sehingga dapat tercipta bibit-bibit manusia berpancasila yang memiliki kesadaran toleransi dan kesetaraan. Hal ini diharapkan dapat menghindari konflik multikultural yang ada di masyarakat, terutama di lingkungan sekolah.

Penulis :

1. Himmatus Sa’idah 

2. Mutiara Annisa Dhiya’ulhaq 

3. Sucy Fhatma Delima 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun