Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Proyek Sepuluh Metropolitan: Sebuah Ambisi yang Perlu Evaluasi

13 September 2020   18:49 Diperbarui: 13 September 2020   19:50 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Mathew I.L. Sijabat (Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA FEB UGM) & Reinaldy Sutanto (Divisi Kajian KANOPI FEB UI)

Konsekuensi langsung dari eksternalitas-eksternalitas positif ini merupakan economies of scale, yakni penghematan biaya produksi per unit yang dialami oleh sebuah perusahaan karena biaya tetap mereka tersebar ke skala produksi yang lebih besar (Duranton & Puga, 1999). Dengan kata lain, struktur spasial yang sedemikian proksimal dapat memfasilitasi perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan skala produksi mereka, yang sebaliknya tidak dapat dicapai di daerah rural karena minimnya aglomerasi. 

Ketiga poin di atas juga menjelaskan kenapa penentuan tema pengembangan wilayah merupakan keputusan yang tepat. Sebagaimana dipaparkan oleh aksioma Self-Reinforcing Effects dalam ekonomi urban (O'Sullivan, 2012), aktor ekonomi memiliki tendensi untuk lebih memilih tempat-tempat yang didiami oleh aktor ekonomi lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan diri mereka sendiri. Lantas, saat kegiatan perusahaan cukup mirip untuk melakukan Input Sharing, Labor Market Pooling, serta menikmati Knowledge Spillover, proksimitas dapat menjadi katalis bagi produktivitas mereka. Contohnya ada di mana-mana: Dari berbondong-bondongnya startup teknologi ke Lembah Silikon sampai klasterisasi sektor layanan keuangan di Wall Street. 

Manfaat untuk Semua 

Dalam sebuah studi empiris, Roberts dkk. (2019) menemukan bahwa di Indonesia, peningkatan 1% dalam Capacity Agglomeration (diproksikan oleh pangsa perusahaan dalam sebuah lokasi yang memiliki >50 pekerja) dapat meningkatkan Produktivitas Faktor Total sebesar 1,5 kali lipat, serta Produktivitas Tenaga Kerja sebesar 2,75 kali lipat. Penemuan ini didukung oleh Bernard dkk. (2007), yang menemukan bahwa selain lebih produktif, perusahaan di daerah urban juga lebih inovatif karena pembelanjaan riset dan pengembangan yang efisien. Selain itu, perusahaan urban juga lebih sering memproduksi barang dan jasa bernilai-tambah tinggi. Kedua penemuan ini lantas memiliki implikasi yang penting: Meningkatnya produktivitas berarti masyarakat dapat menikmati lebih banyak barang dan jasa dengan biaya yang sama, yang berarti bahwa urbanisasi sama-sama menguntungkan bisnis dan konsumen. 

Tingginya kegiatan ekonomi di daerah urban menyediakan masyarakat dengan pekerjaan-pekerjaan berpendapatan tinggi. Menurut studi World Bank (2019), peningkatan urbanisasi sebesar 1% di Indonesia mampu meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 4% serta mengurangi kemiskinan sebesar 1%. Hubungan ini pun semakin menguat saat areal pertambangan yang notabene memiliki ketimpangan pendapatan yang tinggi (Reeson dkk., 2012) dieksklusikan dari sampel studi. Selain itu, berdasarkan Susenas BPS World Bank (2019) juga menemukan bahwa pusat-pusat perkotaan di Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin dan rentan miskin yang paling rendah, baik secara persentase maupun absolut. 

 Peningkatan pendapatan tentunya tidak dapat lepas dari aksesibilitas layanan-layanan dasar seperti kesehatan dan sanitasi. World Bank (2019) menemukan bahwa daerah urban memiliki Angka Harapan Hidup (AHH) yang lebih tinggi,  karena hampir semua masyarakat urban di Indonesia sudah memiliki akses yang baik ke puskesmas, tempat persalinan, maupun rumah sakit. Selaras dengan Boyce & Brown (2019), peningkatan AHH memberikan insentif bagi masyarakat untuk berinvestasi lebih ke pendidikan, karena mereka memiliki lebih banyak waktu untuk produktif agar dapat meraup return dari pendidikan mereka. Selain itu, daerah urban di Indonesia juga memiliki higienitas yang lebih baik, dengan 9 dari 10 masyarakat urban yang sudah memiliki akses memadai ke air minum aman dan sanitasi (World Bank, 2019). Dengan ini, risiko penyebaran penyakit menular di kalangan anak-anak dapat berkurang, yang kemudian menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB). Sebagaimana diteliti Mehrotra dkk. (2000), penurunan AKB di negara-negara berkembang memiliki korelasi yang kuat dengan peningkatan produktivitas serta penurunan Rasio Dependensi. 

 

Konsekuensi yang Tidak Diinginkan

Melihat berbagai aspek positif yang ditawarkan, kita seyogianya juga mengamati apa saja aspek negatif yang mungkin ditimbulkan oleh urbanisasi. Selama dua puluh tahun terakhir, tepatnya 1996---2016, kontribusi urbanisasi di Indonesia terhadap kesejahteraan penduduk masih relatif kecil dibandingkan RRT serta negara-negara lain di Asia Timur dan Pasifik (World Bank, 2019). 

Grafik 3: Pertumbuhan Warga Urban dan PDB per Kapita di Indonesia, RRT, serta Asia Timur dan Pasifik 1996---2016 ⏐ Sumber: World Bank (2019)
Grafik 3: Pertumbuhan Warga Urban dan PDB per Kapita di Indonesia, RRT, serta Asia Timur dan Pasifik 1996---2016 ⏐ Sumber: World Bank (2019)
Salah satu penyebab dari keadaan ini adalah kehadiran faktor-faktor kepadatan (congestion forces) di kawasan metro di Indonesia. Faktor yang menghambat potensi urbanisasi ini datang dari fakta bahwa kawasan metro menawarkan kesempatan hidup yang lebih menarik. Sehingga, rencana pengembangan wilayah metropolitan tak dimungkiri akan mengangkat isu serupa.

Dari berbagai faktor kepadatan, salah satu yang populer adalah kemacetan dan implikasinya: polusi udara. Linn (1982) menyatakan bahwa keduanya adalah biaya ekonomi dari urbanisasi. Di Indonesia, tingkat polusi udara di sembilan dari sepuluh kota terbesarnya sudah menembus standar WHO (EPIC, 2019). Tingginya polusi udara kemudian dapat berdampak negatif bagi perekonomian dengan menurunkan produktivitas para pekerja (Zivin & Neidell, 2012). Sehubungan dengan hal itu, agenda pembangunan angkutan umum massal pun patut diapresiasi. Walaupun begitu, pemerintah sebaiknya tetap memperhatikan angkutan umum yang telah eksis seperti bus dan angkot. Menurut ITDP Indonesia (2019), implementasi angkutan umum massal tidak akan mencapai hasil yang optimal apabila pemerintah mengabaikan revitalisasi angkutan umum yang sudah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun