Bangsa bangsa utara digambarkan dalam struktur kasta khazanah Jawa Kuno sebagai bangsa Mleccha, orang barbar. Mereka tidak masuk ke dalam catur warna yang menjadi basis ajaran dharma. Bangsa mleccha, bangsa yang tunduk pada syahwat dan kekuasaan semata, ia menghisap semua sumber daya alam dan orang lain dengan kerakusan tanpa watas.
Bagaimana kerakusan bangsa Mlecha ini, Peranggi (Portugis) dan Ispanya (Spanyol) dilukiskan dalam Roman Arus Balik dengan cukup tepat. Dalam sebuah dialog antara Sang Adipati Tuban dan Sang Patihnya:
" , . -. - -. ." Â " . ?" Â " , , . , , , , , , ."
::
Di mana bumi di pijak, di sana langit dijunjung. Pepatah ini terpatri kuat di hati. Di setiap bumi yang kita jejaki, di mana kaki berpijak, Â di sana langit dijunjung, hikmahnya--dengan memohon bimbingan-Nya--mencoba digali dan diurai. Dari Blora dan hutan jatinya ini, saya merangkai kisah tentang bagaimana Demak, sebagai bentuk pemerintahan yang menjalankan mandat Walisanga, menjalankan politik luar negerinya. Bagaimana Demak bersikap terhadap peristiwa kejatuhan Malaka dan sepak terjang bangsa-bangsa kolonial.
Wilayah Demak di masa itu, di mana batas-batas wilayahnya berdekatan dan bergerombol dengan pesanggrahan atau pesantren, pusat dakwah yang dibangun Walisongo. Di seberang masjid Demak sebagai pusatnya, ada Kudus dan Muria di Pulau Muria, sebagai basis Sunan Kudus dan Sunan Muria. Menuju ke arah timur, Rembang, Lasem, Tuban, hingga Gresik dan Giri merupakan basis utama dakwah Walisongo. Tentu saja ke arah barat ada Cirebon sebagai basis Sunan Gunung Jati.
Segera setelah malaka jatuh, Pati Unus atas restu Dewan Walisongo, yang saat itu menjabat sebagai panglima armada laut gabungan dari Banten, Demak dan Cirebon mulai menyusun langkah. Keputusan bahwa Malaka harus direbut kembali. Persiapan di lakukan besar-besaran. Â Pati Unus ke semua kerajaan-kerajaan wilayah nusantara untuk bersatu menggalang kekuatan melawan Portugis. Pembangunan armada laut, belum pernah sesibuk saat itu. Terjadi penebangan besar-besaran pohon-pohon jati untuk pembuatan kapal. Ekpedisi pertama di tahun 1513 dengan membawa 100 kapal dan 12 ribu prajurit. Â Pada ekspedisi pertama ini, bergabung wilayah pantai utara, dari Cirebon hingga Tuban, ikut serta pula Aceh dan Palembang.
Ekspedisi pertama mengalami kekalahan. Pertahanan Portugis di Malaka sulit ditembus. Pati Unus, merencanakan ekspedisi penyerangan kedua, di tahun 1521. Pati Unus sudah menjadi Sultan Demak, bersiap melakukan penyerangan besar-besaran. Kali ini armada laut dibangun di Sulawesi, dengan kurang lebih 375 kapal yang sudah dibuat. Â Ekspedisi kedua pun terhitung mengalami kegagalan. Tapi secara politik berdampak besar. Malaka dalam penguasaan Portugis mengalami kemunduran, dan ditinggalkan dalam kancah perdagangan laut internasional. Kejatuhan Malaka malah membuat pelabuhan-pelabuhan Pasai, Banten dan Cirebon mengalami kemajuan pesat.
Seruan Pati Unus ke kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk menggempur Malaka , tidak disambut baik oleh semuanya. Kerajaan Sunda, memiliki kekhawatiran sendiri atas perkembangan Kerajaan Demak, malah menjalin kerjasama dengan Portugis. Utusan Kerajaan Sunda sengaja menemui Portugis di Malaka. Hal inilah yang kemudian, mendorong Demak dan Cirebon menggempur Sunda Kelapa --pelabuhan Kerajaan Sunda--yang dipimpin Fadhilah Khan.
::
Bentang alam Pulau Jawa berderet gunung-gunung dari barat ke timur, dan aliran-aliran sungai yang bermuara di laut-laut , berikut pelabuhan-pelabuhannya. Bentang tersebut dalam khazanah kisah-kisah perjalanan suluk merupakan satu kesatuan urusan. Mulai dari kisah Bujangga Manik, di Pulau Jawa yang berkisah tentang hampir 450 bentang alam di Pulau Jawa hingga Bali : hutan, gunung, laut, sungai, muara dan pelabuhan-pelabuhannya.  Juga dalam Serat Centini  bagaimana Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan suluk" menyusuri bentang-bentang alam di Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang. Tak kurang juga naskah Wangsakerta, terlepas dari kontroversinya, setidaknya menggambarkan bagaimana sejarah Raja-raja Sunda dan Jawa.
Dari Blora, saat melihat aliran sungai Bengawan Solo mengalun pelan, saya membayangkan Pulau Jawa ratusan ribu tahun lampau. Di lembah sungai Bengawan Solo, di Ngandong ini pula terdapat artefak manusia purba. Dari Blora, saya mendapati kisah kaum Samin. Sekumpulan manusia bebas yang masih hidup dengan cara alami, dan menjadi penjaga alam di pegunungan Kendeng.