Mohon tunggu...
Hilman Idrus
Hilman Idrus Mohon Tunggu... Administrasi - Fotografer

√ Penikmat Kopi √ Suka Travelling √ 📷

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tahun Politik, Hoaks, dan Pentingnya Literasi Digital bagi Generasi Z

18 Oktober 2022   08:41 Diperbarui: 21 Oktober 2022   14:30 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Gerakan Pemuda Islam Indonesia saat menggelar aksi deklarasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 Damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, (25/3/2019).  (Foto: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Gaung kontestasi politik 2024 belakangan ini mulai terasa getarannya, setelah sejumlah partai politik melakukan manuver politik membidik figur-figur potensial untuk dijadikan bakal calon presiden pada pemilu mendatang. 

Konsolidasi menjelang kontestasi politik seperti ini dipadang wajar dilakukan partai politik, namun tak sedikit memunculkan selentingan negatif publik, lantaran di tengah permasalahan ekonomi yang dihadapi masyarakat pasca pademi covid-19, partai politik dinilai seakan tidak menggubris.

Padahal, partai politik pada hakikatnya berfungsi sebagai penyalur artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat. 

Sehingga, idealnya harus menaruh perhatian pada permasalahan masyarakat, ketimbang hanya terjebak pada konsolidasi membangun komunikasi politik dan mengkalkulasikan peluang memenangkan pemilu. 

Buntut dari reaksi negatif yang dilancarkan publik atas manuver partai politik, dinilai sebagai langkah awal memicu tumbuhnya sentimen negatif terhadap partai politik, maupun bakal calon presiden, yang nantinya diekspresikan melalui media digital. Seperti propaganda dalam bentuk disinformasi di tahun politik.


Dan saat ini mulai menampakkan ekspresi ketidakpuasan tersebut, seperti publik mulai mencibir sejumlah partai politik yang melakukan konsolidasi politik bertepatan dengan momen perubahan tarif dasar Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan Kabupaten Malang, Jawa Timur. 

Dan, kritik yang ditunjukkan terhadap partai politik dan bakal calon presiden, pada dasarnya diasumsikan sebagai hal yang lazim dilakukan pada era demokrasi. 

Sebab, kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk menyampaikan kritik kepada partai politik dan pemerintah, merupakan pilar penting demokrasi. Sehingga, para pimpinan parpol pun merespon kritikan publik sebagai hal yang wajar dalam dinamika berdemokrasi.

Namun, pada pripsipnya reaksi spontanitas yang diekspresikan publik melalui media digital, tidak semestinya direspon dengan gestur politik, melainkan dengan cara dan pendekatan yang humanis, agar nantinya menepis pandangan subjektif terhadap partai politik maupun bakal calon presiden yang diorbitkan partai politik. 

Oleh karena itu, reaksi-reaksi yang ditunjukkan publik, dapat dipahami sebagai benturan komunikasi politik yang berimplikasi terjadinya polarisasi di tengah masyarakat, yang nantinya berlanjut dan menghadirkan dampak negatif terhadap dinamika sosial politik pemilu.

Mengapa demikian? Karena masyarakat sebagai konstituen tentu memiliki fanatisme yang berbeda terhadap partai politik dan bakal calon presiden. Sehingga, saling counter dalam membela dan menjatuhkan partai politik serta bakal calon presiden saat berlangsungnya momen pemilu sulit dihindari. 

Nuansa pemilu 2014, pilkada DKI Jakarta 2017 dan pemilu 2019 menjadi indikator atas sikap reaktif: pro dan kontra, dalam merayu opini publik yang dilancarkan simpatisan maupun kader partai serta buzzer politik dalam memengaruhi preferensi pemilih.

Kondisi seperti ini memang sangat dikhawatirkan saat menjelang dan berlangsungya pemilu mendatang. 

Kecenderungan meng-counter informasi untuk memperkuat posisi partai maupun mendongkrak popularitas dan elektabilitas bakal calon presiden, merupakan pilihan tepat bagi masing-masing simpatisan dan kader partai.

Terlebih sistem politik Indonesia pasca reformasi menghadirkan nuansa yang berbeda dengan era otoritarianisme Orde Baru, dimana perilaku pemilih telah bertransformasi dari pola panutan atau tradisional menjadi rasional. 

Untuk itu, reaksi terhadap dinamika politik yang dilancarkan masyarakat pemilih melalui media digital, dapat dipahami sebagai ekspresi cerdas dan rasional masyarakat di era demokrasi. 

Keberadaan media digital dianggap sebagai sarana ideal dalam mengekspresikan kritik terhadap partai politik dan pemerintah, disamping itu juga media digital dimanfaatkan partai politik untuk melakukan promosi dan sosialisasi politik demi meraih simpati publik.

Dan, jika ditelisik perubahan perilaku pemilih pada setiap momentum tahun politik; baik pada level global, maupun di tanah air, dapat dikatakan implikasi dari Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi. 

Hal ini seperti dikatakan Richard Groper yang disitir Sufyanto (2015:220) bahwa teknologi komunikasi sebagai penyeimbang yang memiliki kekuatan untuk membangun demokrasi yang lebih baik. 

Kecenderungan partai politik memanfaatkan perangkat-perangkat digital sebagai instrumen politik dinilai cukup efektif dalam melakukan pendekatan komunikasi politik. 

Sebab, segmentasi pemilih pada ranah ini kebanyakan pemilih pemula dan generasi muda, atau disebut sebagai generasi z. 

Penggunaan perangkat digital sebagai instrumen politik untuk membidik generasi z, memang cukup efektif, namun di sisi lain menghadirkan kegalauan publik

Pasalnya sentimen negatif yang dilancarkan melalui perangkat digital oleh simpatisan dan kader partai maupun buzzer politik, dipastikan turut menyeret generasi z pada pusaran propaganda dalam bentuk misinformasi dan disinformasi dengan varian fake news dan Hoaks,

Hoaks dan dinamika sosial politik

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi ikut berdampak pada dinamika politik digital. Sebab, semua partai politik memiliki kecenderungan yang sama soal pendekatan komunikasi politik, serta strategi sosialisasi program kerja untuk menarik simpati publik melalui media digital. 

Karena pertarungan menarik simpati pemilih, terkadang berimplikasi pada propaganda politik saling menjatuhkan antara simpatisan dan kader partai maupun buzzer politik. Kondisi inilah melahirkan misinformasi dan disinformasi dengan farian hoaks dan fake news.

Berdasarkan data yang dirilis Kompas.com, kamis (17/2/2022) pada pemilu 2014 kecenderungan sebaran informasi hoaks lebih pada mengubah persepsi masyarakat terhadap kandidat tertentu, serta menyerang kandidat dan fokus saling menjatuhkan kandidat. 

Tren disinformasi seperti ini pun berlanjut pada pemilu 2019, namun terjadi pergesaran yakni bukan lagi menyerang kandidat tertentu, melainkan sasarannya pada penyelenggara pemilu. 

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati bahwa publik terjebak dengan disinformasi tersebut dan menjadi kurang percaya, bahkan hilang kepercayaannya terhadap penyelenggara pemilu.

Menurut penulis, sebaran informasi hoaks semacam ini bakal lebih masif terjadi pada pemilu mendatang. 

Kandidat calon presiden yang diorbitkan partai politik saat ini, sudah menampakkan kecenderungan melahirkan sentimen sosial politik. Dan kondisi ini nantinya yang menjadi korban adalah genrasi z, mengapa generasi z ikut terjebak? 

Karena gen-z lebih dominan menggunakan media sosial dan rentan "tertelan" oleh hoaks atau berita bohong. 

Penegasan ini diperkuat dengan data yang dirilis Databoks.katadata.co.id 1 februari 2021, bahwa Gen-z paling banyak sebar berita di media sosial tanpa verifikasi. Hal ini diakibatkan karena gen-z minim literasi digital, dan tidak memahami dinamika politik.

Pentingnya Literasi Digital bagi Gen-Z

Pemilu 2024 mendatang bakal seru bila dibandingkan dengan pemilu 2019 lalu, lantaran penambahan sejumlah partai baru menjadikan pertarungan perebutan suara pemilih makin ketat. 

Terlebih pada tahun 2024, Pilpres dan Pileg digelar serentak pada 14 Februari 2024, sementara pilkada serentak berlangsung pada 24 november, kondisi ini membuat dinamika politik digital semakin menarik.

Indikasinya sudah terlihat, intensifnya penggunaan media sosial sebagai instrumen politik untuk menarik simpati pemilih pemula menjadi perhatian semua partai politik. 

Hal ini ditempuh karena selain iklan politik di media masa dan Televisi sangat efektif, media sosial pun menjadi parameter tentang keberhasilan partai politik menangguk suara pemilih pemula pada pemilu 2019 lalu.

Untuk itu, pada pemilu mendatang partai politik bakal berlomba membangun basis pemilih melalui media digital, dan sasarannya adalah generasi z, karena generasi ini dinilai masih abstrak soal menaruh simpati pada partai politik, maupun kandidat calon presiden. 

Upaya yang dilakukan partai politik untuk menarik simpati gen-z dengan kampanye politik di media sosial, terlebih sejauh ini belum adanya regulasi kampanye di medsos, membuat partai politik bebas berkompetisi meraih simpati publik.

Persaingan partai politik pada segmen media digital, pasti tidak terlepas dari sentimen negatif yang dilancarkan oleh berbagai pihak demi saling menjatuhkan. 

Pada pemilu 2014 dan 2019 memunculkan pesimisme dan traumatisme dari sejumlah kalangan terhadap partai tertentu bakal diekspresikan pada pemilu 2024 melalui media digital, seperti memanfaatkan buzzer untuk melancarkan black campaign.

Dengan sebaran misinformasi dan disinformasi politik, dengan menyasar pemilih pemula (gen-z), sehingga menimbulkan kegaduhan politik di media digital, dan tentunya mempengaruhi psikologi.

Kondisi seperti ini dapat dipastikan menyeret gen-z terlibat dalam sebaran hoaks serta menghadirkan sentimen negatif terhadap partai maupun kandidat tertentu, untuk itu mengantisipasti gen-z agar tidak terjebak pada hoaks dan black campaign di media digital, dibutuhkan penguatan literasi digital yang baik, demi terhindar dari persoalan semacam ini. 

Langkah yang dilakukan adalah edukasi soal mengakses, mengolah, serta menyebarkan informasi dan gagasan di media sosial. 

seperti dikatakan Douglas A.J Belshaw yang dikutip wartaguru.id, senin (20/6/2022) bahwa ada delapan faktor kunci dalam meningkatkan literasi digital yaitu: memahami budaya dalam dunia digital.

Kognisi atau keterampilan berpikir dalam mengevaluasi konten, unsur konstruktif atau inovatif, komunikasi, unsur kemandirian yang bertanggung jawab, kreativitas, faktor penting menangani konten, serta tanggung jawab sosial.

Dari delapan faktor meningkatkan literasi digital yang disampaikan Douglas A.J Belshaw tersebut, menurut penulis jika mendapat perhatian penting stakeholder maupun para influencer dalam memberikan edukasi kepada gen-z, maka dapat dipastikan pemahaman literasi digital gen-z semakin baik. 

Sehingga, dengan mudah mereka dapat menangkal hoaks yang tersebar di media digital, seperti tidak terjebak pada clickbaits media atau propaganda politik yang dilancarkan buzzer politik. 

Selain itu, dengan kemampuan literasi digital yang baik, gen-z dapat berperan penting sebagai educator di media sosial berkolaborasi dengan berbagai pihak membendung serta mencegah disinformasi, fake news dan hoaks di tahun politik.

Itu semua demi menghadirkan impian bersama, menciptakan pemilu yang aman dan damai, tanpa hoax dan ujaran kebencian. Semoga!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun