Mohon tunggu...
HILMA AUFIANA
HILMA AUFIANA Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya Hilma Aufiana, mahasiswi Sastra Belanda Universitas Indonesia. Saya memiliki banyak hobi seperti melukis, jalan-jalan ke museum, merajut, membaca buku, dan menulis. Saat ini, saya berkeinginan untuk membuat karya sebanyak-banyaknya sebagai jejak kehidupan saya yang berharga.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebaya Putih sebagai Pakaian Pengganti Gaun Eropa di Hindia Belanda

20 Maret 2023   15:09 Diperbarui: 20 Maret 2023   15:29 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: digitalcollections.universiteleiden.nl

Ketika kita mendengar kata kebaya, sebagian besar dari kita mungkin akan membayangkan sebuah pakaian tradisional yang feminin dengan bawahan kain batik. Kebaya pada masa kini juga diidentikkan dengan acara-acara tertentu, seperti pernikahan, wisuda, hingga acara-acara kenegaraan. Pakaian ini juga lekat dengan unsur daerah yang sekaligus memancarkan energi cinta budaya bangsa bagi para pemakainya.

Saat ini, penggunaan kebaya cukup populer karena berbagai pengaruh, seperti konten influencer di media sosial, peran desainer dalam merancang model kebaya yang beragam dan unik, serta kesan anggun yang ditampilkan olehnya. Jika dilihat dari sudut pandang historis, kebaya mengandung berbagai persilangan budaya bangsa karena pakaian nasional ini sejatinya bukan hanya berasal dari Jawa, tetapi juga berasal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Berbagai kedatangan bangsa Barat dan Timur ke Nusantara juga turut andil dalam perjalanan mode kebaya.

Menurut Robin Maxwell, awalnya kata kebaya berasal dari Arab habaya yang berarti busana dengan belahan yang terletak di bagian depan. Desain awal dari kebaya sangat sederhana dan berbentuk longgar sebagai hasil dari budaya yang dibawa oleh orang-orang Arab. Mereka mengakulturasi budaya lewat perdagangan, penyebaran agama, dan pernikahan. Akulturasi yang dihasilkan tersebut kemudian menyebar ke berbagai aspek, salah satunya pakaian. Pengaruh islam yang mereka bawa juga membuat para pribumi Nusantara yang awalnya hanya menggunakan kemban (kain batik yang dililitkan untuk menutupi tubuh dari dada sampai kaki), beralih memakai kebaya.

Pada abad ke-19, banyak komunitas Cina yang berkembang di wilayah Melayu. Mereka juga turut serta mempengaruhi mode kebaya sehingga muncullah nama kebaya Encim. Desain dari kebaya ini adalah kecenderungan dari motif yang digunakan. Motif-motif tersebut bercirikan flora, fauna, dan benda. Pada motif kain bawahannya, mereka banyak menggunakan motif burung phoenix, burung mitologi yang diagungkan oleh masyarakat Cina.

Pada tahun 1870, terjadi pembukaan Terusan Suez yang menjadi cikal imigrasi besar-besaran orang Eropa terutama Belanda ke Hindia Belanda. Jika di Hindia Belanda sebelumnya wanita Belanda sangat sedikit jumlahnya, karena pembukaan ini pula semakin banyak wanita Belanda datang ke Hindia Belanda. Akulturasi antara kedua budaya ini pun semakin terjalin dan menstimulasi berkembangnya kebudayaan Indis.

Para wanita Belanda di awal kedatangannya di Hindia Belanda mengenakan budaya khas Eropa dengan gaun yang besar, panjang, dan berkorset. Bordiran dan brokat juga menjadi ciri khas dari gaun wanita Belanda pada masa itu. Gaun-gaun seperti ini memang terlihat sangat modis, namun tentunya tidak cocok dan ribet digunakan di negara dengan iklim tropis seperti Hindia Belanda. Kemudian, wanita-wanita Belanda ini tertarik dengan kebaya sederhana yang dikenakan oleh wanita pribumi. 

Namun, pengenaan kebaya oleh wanita-wanita Belanda juga disesuaikan agar menjadi pembeda antara mereka dengan bangsa pribumi. Pada saat itu, kondisi masyarakat tanah jajahan Hindia Belanda dibagi menjadi tiga lapis. Kaum Eropa menduduki strata paling atas, disusul Timur Asing baru kemudian pribumi. Alhasil, wanita Belanda harus tetap terlihat bangsawan meski mereka mengenakan pakaian yang juga dikenakan oleh para wanita pribumi.

Gambar Europese vrouw en een meisje te Tjitjalengka bij Bandoeng

Tidak hanya Belanda Totok yang mengenakan kebaya, tetapi juga para peranakan Belanda-pribumi yang disebut Indo. Gaya kebaya yang mereka kenakan ditambahi dengan hiasan bordir, penggunaan brukat, dan lekukan yang dibuat menyesuaikan bentuk tubuh. Warna kebayanya pun khas karena cenderung warna putih sebab putih adalah warna yang mudah memantulkan cahaya sehingga mereka tetap sejuk meski berada di musim kemarau Hindia yang terik. Berbeda dengan kebaya yang dikenakan wanita Belanda dan Indo, model kebaya perempuan pribumi tidak ditambah renda dan berwarna selain putih, dengan bawahan kain batik sesuai pakem tradisional.

Ketika pakaian-pakaian pendek khas musim panas dengan bahan dan katun banyak muncul pada abad ke-20, kebaya mulai ditinggalkan. Para wanita Belanda pada masa itu juga lebih merasa bebas dibandingkan mengenakan kebaya dan sarung. Dalam buku Nordholt disebutkan bahwa alasan lain yang membuat wanita Belanda meninggalkan kebaya adalah kekhawatiran mereka terlihat seperti 'pribumi' karena sifat-sifat yang dibawa oleh pengaruh pemakaian kebaya. Kebaya kemudian benar-benar ditinggalkan oleh mereka setelah kedatangan Jepang yang mengambil alih kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942.

SUMBER

Nordholt, H. Schulte. 2005. Outward appearances: trend, identitas, kepentingan. Yogyakarta: LkiS.

Putri, Novi Andika dan Asep Achmad Hidayat. (2021). Budaya Indis Pada Kebaya Abad ke-20. Historia Madania, 5, (1), 49--64.

Septiani, Ayu. 2022. Bibliografi Sejarah Pakaian Indonesia Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda. Jurnal Pustaka Budaya, 9 (1), 20--27.

Trismaya. (2018). Kebaya dan Perempuan: Sebuah Narasi Tentang Identitas. JSRW (Jurnal Senirupa Warna), 6 (2), 151--159.

Robyn Maxwell. Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and Transformation. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd, 2003

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun