Mohon tunggu...
H. Zaki
H. Zaki Mohon Tunggu... Mahasiswa UINSA

Hai saya seorang mahasiswa yang ingin membagikan pengalaman versi saya. Selamat Menikmati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menerapkan Doughnut Ekonomi di Indonesia: Antara Ambisi Ekologis dan Realitas Pembangunan

29 April 2025   23:12 Diperbarui: 29 April 2025   23:16 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Konsep Doughnut Economy yang dikembangkan oleh ekonom Kate Raworth menawarkan kerangka pembangunan berkelanjutan dengan memadukan batas sosial (social foundation) dan batas ekologis (ecological ceiling). Di Indonesia, model ini relevan mengingat tantangan pembangunan yang harus menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan keberlanjutan lingkungan. Social foundation mencakup kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja, sementara ecological ceiling membatasi eksploitasi sumber daya alam untuk mencegah kerusakan lingkungan seperti deforestasi, polusi, dan perubahan iklim. Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah namun rentan terhadap ketimpangan dan degradasi lingkungan, dapat menggunakan pendekatan ini untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan ramah lingkungan.  

Saat ini, Indonesia masih menghadapi kesenjangan sosial-ekonomi yang lebar, di mana 10% populasi terkaya menguasai lebih dari 75% kekayaan nasional. Sementara itu, tekanan terhadap lingkungan terus meningkat akibat ekspansi industri ekstraktif, pertanian monokultur, dan urbanisasi yang tidak terencana. Model Doughnut Economy dapat menjadi panduan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya mengejar pertumbuhan PDB, tetapi juga memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tanpa melampaui daya dukung alam. Misalnya, transisi ke energi terbarukan, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan ekonomi sirkular bisa menjadi solusi.  

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah awal dengan menerapkan kebijakan seperti SDGs dan RPJMN yang berkelanjutan, namun implementasinya masih perlu diperkuat. Partisipasi aktif dari sektor swasta, masyarakat sipil, dan akademisi juga penting untuk mendorong inovasi dan kolaborasi. Dengan menerapkan prinsip *Doughnut Economy*, Indonesia dapat mencapai pembangunan yang adil, inklusif, dan berwawasan lingkungan, sekaligus menjadi contoh bagi negara berkembang lainnya.

Tanggapan masyarakat Indonesia terhadap konsep Doughnut Economy beragam, tergantung pada tingkat pemahaman, kepentingan ekonomi, dan keterlibatan dalam isu keberlanjutan. Secara umum, kesadaran akan model ekonomi berkelanjutan ini masih terbatas di kalangan awam, namun semakin banyak kelompok-terutama akademisi, aktivis lingkungan, pelaku bisnis hijau, dan generasi muda-yang mendorong penerapannya. Di perkotaan, terutama di kalangan masyarakat terdidik dan kelas menengah atas, konsep ini mulai mendapat perhatian seiring dengan meningkatnya kepedulian terhadap perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan praktik bisnis yang bertanggung jawab. Misalnya, gerakan zero waste, slow fashion, dan konsumsi produk lokal ramah lingkungan mencerminkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara kesejahteraan manusia dan batas ekologis.

Namun, di kalangan masyarakat ekonomi bawah dan pedesaan, pemahaman tentang Doughnut Economy masih sangat minim. Bagi mereka, isu utama adalah memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga kebijakan ekonomi berkelanjutan sering dianggap sekunder dibandingkan lapangan kerja dan penghidupan langsung. Contohnya, meski deforestasi dan polusi akibat industri sawit atau pertambangan berdampak buruk bagi lingkungan, banyak masyarakat di daerah bergantung pada sektor tersebut untuk mata pencaharian. Hal ini menciptakan dilema antara keberlanjutan jangka panjang dan kebutuhan ekonomi jangka pendek. Pemerintah perlu memastikan bahwa transisi ke ekonomi hijau tidak meninggalkan kelompok rentan, misalnya dengan memberikan pelatihan kerja alternatif atau insentif bagi usaha ramah lingkungan.

Di sisi lain, sektor bisnis menunjukkan respons yang beragam. Perusahaan besar, terutama yang berorientasi ekspor dan terpapar tuntutan global, mulai mengadopsi praktik ESG (Environmental, Social, and Governance), yang sejalan dengan prinsip Doughnut Economy. Contohnya, beberapa perusahaan perkebunan menerapkan sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), sementara startup seperti Waste4Change dan Evoware mengembangkan solusi sirkular. Namun, UMKM-yang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia-seringkali kesulitan menerapkan prinsip keberlanjutan karena keterbatasan modal dan pengetahuan. Di sinilah peran pemerintah dan NGO diperlukan untuk memberikan pendampingan dan akses pendanaan hijau.

Tantangan Di Berbagai Persepsi Masyarakat

Konsep Doughnut Economy sendiri menawarkan kerangka pembangunan yang berusaha menyeimbangkan ambisi ekologis dengan realitas pertumbuhan ekonomi, namun penerapannya di Indonesia menghadapi tantangan kompleks karena perbedaan persepsi di berbagai lapisan masyarakat. Bagi kalangan pemerhati lingkungan dan akademisi, model ini dianggap sebagai solusi ideal untuk mengatasi krisis iklim sekaligus ketimpangan sosial. Mereka berargumen bahwa Indonesia harus segera beralih dari ekonomi ekstraktif berbasis eksploitasi sumber daya alam menuju sistem yang memprioritaskan energi terbarukan, ekonomi sirkular, dan keadilan distributif. Kelompok ini sering mengkritik pembangunan infrastruktur masif seperti IKN Nusantara atau perluasan sawit yang dinilai mengabaikan daya dukung ekologis. Namun, di sisi lain, pemerintah dan pelaku industri melihat pembangunan konvensional sebagai kebutuhan pragmatis. untuk menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Bagi mereka, transisi hijau harus dilakukan bertahap tanpa mengorbankan stabilitas makroekonomi, terutama di tengah ketergantungan Indonesia pada sektor seperti batubara dan kelapa sawit.

Di sisi lain Masyarakat perkotaan yang terdidik cenderung mendukung prinsip Doughnut Economy, yang tercermin dari gaya hidup mereka yang semakin sadar lingkungan-seperti mengurangi sampah plastik, menggunakan transportasi ramah lingkungan, atau memilih produk berkelanjutan. Namun, bagi masyarakat pedesaan dan pekerja sektor informal, isu lingkungan seringkali dianggap sekunder dibandingkan kebutuhan sehari-hari. Contohnya, meski tambang batu bara merusak lingkungan, banyak masyarakat di Kalimantan bergantung pada industri tersebut untuk penghidupan. Hal ini menciptakan ketegangan antara idealisme lingkungan dan realitas ekonomi riil. Pemerintah daerah pun sering terjebak dalam dilema antara mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari izin tambang dan perkebunan versus mematuhi komitmen nasional untuk mengurangi emisi karbon.

Strategi Penerapan Yang Stabil

Penerapan Doughnut Economy secara stabil di Indonesia memerlukan pendekatan inklusif yang mempertimbangkan keragaman perspektif masyarakat. Strategi utama meliputi pendekatan bertahap, dimulai dari sektor yang paling mudah beradaptasi seperti UMKM ramah lingkungan, sebelum beralih ke transformasi sistemik di bidang energi dan tata ruang. Dialog sosial yang melibatkan pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat adat juga penting untuk merumuskan kebijakan yang adil dan kontekstual, seperti menggabungkan kearifan lokal dengan prinsip keberlanjutan. Selain itu, insentif ekonomi harus diberikan secara proporsional, mulai dari keringanan pajak untuk industri hijau hingga pelatihan keterampilan bagi pekerja yang terdampak transisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun