Pemerintahan Donald Trump menerapkan kenaikan tarif impor hingga 32% terhadap produk baja dan aluminium dari Indonesia pada periode 2018–2020, sebagai bagian dari kebijakan proteksionis AS yang berlandaskan prinsip "America First". Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor utama, termasuk keamanan nasional AS, tuduhan praktik subsidi dan dumping oleh Indonesia, serta upaya mengurangi defisit perdagangan antara kedua negara. Pada Maret 2018, Trump menggunakan Section 232 dari U.S. Trade Expansion Act of 1962 untuk membatasi impor baja dan aluminium dengan alasan ketergantungan AS pada produk impor dapat membahayakan keamanan nasional. Awalnya, Indonesia termasuk negara yang mendapat pengecualian sementara, namun pada 2020, AS memberlakukan tarif tambahan sehingga total tarif mencapai 32%, khususnya untuk produk baja nirkarat (stainless steel) asal Indonesia. Salah satu pemicu utama kenaikan tarif ini adalah tuduhan AS bahwa Indonesia memberikan subsidi tidak adil kepada industri baja dalam negeri, seperti PT Krakatau Steel, melalui pinjaman berbunga rendah, keringanan pajak, dan dukungan pemerintah lainnya. Departemen Perdagangan AS menyatakan bahwa praktik ini melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena menciptakan distorsi pasar. Selain itu, Indonesia juga dituduh melakukan dumping, yakni menjual baja di pasar AS dengan harga lebih rendah daripada harga domestik atau biaya produksinya. Akibatnya, AS mengenakan tarif anti-subsidi (countervailing duties/CVDs) sebagai bentuk pembalasan. Â
Faktor lain yang memperuncing situasi adalah defisit perdagangan AS dengan Indonesia, yang mencapai $13 miliar pada 2019. Trump kerap menekan negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS, termasuk Indonesia, dengan alasan bahwa impor yang tinggi merugikan industri dan lapangan kerja dalam negeri AS. Meskipun volume ekspor baja Indonesia ke AS tidak sebesar Tiongkok atau Vietnam, kebijakan Trump ini konsisten dengan strategi luasnya untuk mengurangi ketergantungan AS pada impor logam strategis. Â Di sisi lain, kebijakan Indonesia yang membatasi ekspor bahan baku mineral, seperti nikel, untuk mendorong industri hilir dalam negeri juga memicu ketegangan dengan AS. Pembatasan ini dianggap mengganggu rantai pasok global, termasuk industri manufaktur AS. Sebagai respons, AS bahkan mengancam mencabut fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) untuk Indonesia, yang memberikan akses bebas tarif bagi beberapa produk Indonesia ke pasar AS. Â
Dampak kenaikan tarif ini cukup signifikan bagi Indonesia, terutama pada ekspor baja ke AS. Namun, Indonesia berhasil mengalihkan pasar ekspornya ke negara lain seperti Tiongkok dan kawasan ASEAN. Pemerintah Indonesia juga mengambil langkah hukum dengan menggugat kebijakan AS di WTO sekaligus berupaya melakukan negosiasi bilateral. Secara keseluruhan, kenaikan tarif Trump terhadap Indonesia bukanlah kebijakan yang terisolasi, melainkan bagian dari perang dagang global AS di era Trump, yang menargetkan banyak negara demi melindungi kepentingan industri domestiknya. Kebijakan ini mencerminkan dinamika perdagangan internasional yang semakin kompetitif, di mana isu subsidi, dumping, dan proteksionisme menjadi alat politik ekonomi yang sering digunakanKebijakan kenaikan tarif impor AS sebesar 32%terhadap produk baja dan aluminium Indonesia pada 2018–2020 memberikan dampak signifikan terhadap perdagangan Indonesia, terutama dalam hal ekspor, impor, dan strategi industri dalam negeri. Secara langsung, kebijakan ini mengurangi daya saing produk baja Indonesia di pasar AS karena harga menjadi lebih mahal akibat tarif tambahan. Ekspor baja Indonesia ke AS, terutama stainless steel, sempat merosot karena pembeli beralih ke pemasok lain seperti Vietnam, India, atau Tiongkok yang tidak terkena tarif setinggi itu. Namun, dampaknya tidak menghancurkan secara keseluruhan karena Indonesia mampu mengalihkan ekspor ke pasar alternatif, seperti Tiongkok, ASEAN, dan Timur Tengah, yang permintaannya terus meningkat. Di sisi lain, industri baja domestik justru terdorong untuk meningkatkan efisiensi dan diversifikasi pasar agar tidak terlalu bergantung pada AS. Â
Selain dampak pada ekspor, kebijakan Trump juga memengaruhi impor Indonesia, khususnya dalam hal bahan baku dan teknologi industri logam. AS merupakan salah satu pemasok utama mesin dan peralatan industri untuk sektor manufaktur Indonesia. Dengan ketegangan perdagangan ini, beberapa industri dalam negeri khawatir akan kesulitan mengimpor komponen penting dari AS jika terjadi pembalasan lebih lanjut. Namun, Indonesia merespons dengan mencari alternatif pemasok dari Jepang, Korea Selatan, atau Eropa untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Selain itu, pemerintah juga memperkuat insentif untuk pengembangan industri hulu, seperti pengolahan nikel dan bijih besi, guna mendukung produksi baja mandiri dan mengurangi impor bahan baku. Dampak lain yang lebih luas adalah pada iklim investasi dan hubungan dagang bilateral. Ketidakpastian akibat kebijakan proteksionis AS membuat beberapa investor asing, terutama yang berorientasi ekspor ke AS, menjadi lebih berhati-hati dalam menanamkan modal di Indonesia. Namun, di saat yang sama, Indonesia justru menarik minat investor dari negara lain, seperti Tiongkok dan Jepang, yang melihat potensi Indonesia sebagai basis produksi alternatif di luar AS. Selain itu, pemerintah Indonesia mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke WTO dan memperkuat negosiasi bilateral untuk mempertahankan akses pasar. Upaya diplomasi ini membantu mencegah eskalasi perang dagang yang lebih merugikan. Secara makro, dampak ekonomi dari kenaikan tarif ini tidak terlalu besar karena ekspor baja ke AS hanya menyumbang sekitar 1-2% dari total ekspor Indonesia. Namun, kebijakan Trump menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk tidak bergantung pada satu pasar ekspor utama dan terus mendiversifikasi produk serta mitra dagang. Pemerintah juga semakin gencar mendorong hilirisasi industri, seperti pengolahan nikel menjadi stainless steel, yang justru meningkatkan nilai tambah ekspor. Dalam jangka panjang, kebijakan AS ini bahkan memicu percepatan industrialisasi di Indonesia, meskipun di awal menimbulkan tantangan. Â
Kebijakan Presiden Donald Trump menaikkan tarif impor hingga 32% untuk produk baja dan aluminium Indonesia pada 2018-2020 merupakan bagian dari strategi besar pemerintahan AS yang mengandung berbagai tujuan ekonomi dan politik terselubung. Kebijakan ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari pertimbangan mendalam tentang kepentingan nasional AS dalam menghadapi dinamika perdagangan global. Secara fundamental, langkah ini merupakan implementasi konkret dari doktrin "America First" yang menjadi landasan kebijakan luar negeri Trump, dengan fokus utama pada perlindungan industri domestik AS dari persaingan asing yang dianggap tidak adil.Pada tataran praktis, kebijakan tarif ini memiliki tujuan ganda. Pertama, sebagai bentuk proteksi terhadap industri baja dan aluminium dalam negeri AS yang selama ini menghadapi tekanan persaingan dari produk impor. Trump secara khusus menargetkan Indonesia karena menilai adanya praktik subsidi pemerintah yang tidak wajar kepada produsen baja seperti PT Krakatau Steel, serta dugaan dumping dengan menjual produk di bawah harga pasar. Kedua, kebijakan ini berfungsi sebagai alat tekanan untuk memaksa Indonesia mengubah berbagai kebijakan perdagangannya, terutama terkait pembatasan ekspor bahan baku nikel yang dianggap mengganggu rantai pasok industri AS. AS berharap dengan tarif tinggi ini, Indonesia akan bersedia membuka lebih besar pasarnya untuk produk-produk AS. Dari perspektif geopolitik, tindakan Trump ini juga mengandung pesan strategis yang lebih luas. Dengan menargetkan Indonesia, AS ingin memberikan contoh kepada negara-negara berkembang lainnya tentang konsekuensi dari kebijakan perdagangan yang tidak sejalan dengan kepentingan AS. Langkah ini sekaligus memperkuat posisi tawar AS dalam berbagai forum perdagangan internasional, termasuk dalam penyelesaian sengketa di WTO. Trump secara terang-terangan menunjukkan bahwa AS tidak segan menggunakan kekuatan ekonominya untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Tidak kalah penting, kebijakan ini memiliki dimensi politik domestik yang kuat. Dengan melindungi industri baja dan aluminium, Trump berusaha memenuhi janji kampanyenya kepada basis pendukungnya di negara-negara bagian industri seperti Pennsylvania dan Ohio. Kebijakan ini juga menjadi alat untuk memperkuat narasi politik Trump sebagai presiden yang tegas dalam membela kepentingan pekerja dan industri Amerika. Dalam konteks yang lebih luas, langkah proteksionis ini mencerminkan perubahan paradigma kebijakan perdagangan AS dari pendekatan multilateral yang selama ini dianut menjadi pendekatan bilateral yang lebih agresif dan transaksional.Bagi Indonesia, kebijakan tarif Trump ini pada akhirnya berfungsi sebagai katalis untuk mempercepat diversifikasi pasar ekspor dan penguatan industri hilir dalam negeri. Meski awalnya menimbulkan gejolak, tekanan dari AS justru memicu percepatan transformasi industri baja Indonesia yang selama ini bergantung pada pasar ekspor tradisional. Dalam jangka panjang, episode ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kemandirian ekonomi dan ketahanan perdagangan dalam menghadapi gejolak politik perdagangan global.
Untuk mengatasi dampak kenaikan tarif AS 32% sekaligus menciptakan hubungan dagang yang lebih seimbang, Indonesia perlu menerapkan strategi multidimensi. Pertama, diplomasi aktif melalui negosiasi bilateral dan forum WTO penting untuk memperjuangkan peninjauan tarif, sambil menawarkan kompensasi seperti peningkatan impor produk-produk teknologi AS guna mengurangi defisit perdagangan. Kedua, diversifikasi pasar ekspor ke kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika melalui pemanfaatan perjanjian dagang seperti RCEP dapat mengurangi ketergantungan pada pasar AS.  Di tingkat domestik, penyesuaian kebijakan industri diperlukan dengan meminimalisasi subsidi yang dipersoalkan WTO sekaligus mempercepat hilirisasi, seperti pengembangan baterai kendaraan listrik berbasis nikel untuk meningkatkan nilai tambah ekspor. Peningkatan efisiensi produksi dan sertifikasi internasional akan membuat produk baja dan aluminium Indonesia lebih kompetitif tanpa dianggap dumping. Investasi dalam teknologi dan penguatan rantai pasok lokal juga krusial untuk menekan ketergantungan impor bahan baku.  Untuk jangka panjang, pengembangan industri hijau berbasis ekonomi sirkular dan kolaborasi riset dengan perguruan tinggi dapat menciptakan keunggulan baru di pasar global. Pembangunan pusat produksi di luar Jawa akan mengoptimalkan potensi logistik daerah. Solusi-solusi ini tidak hanya menjawab tantangan tarif AS, tetapi juga membangun ketahanan perdagangan Indonesia melalui pendekatan "give-and-take" – tetap melindungi kepentingan nasional sambil membuka ruang kerja sama yang saling menguntungkan dengan AS dan mitra dagang lainnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI