Mohon tunggu...
Antonia Mathilda
Antonia Mathilda Mohon Tunggu... -

a working mom who concern about family, health, education, politic and humanity

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maraknya Kekerasan pada Perempuan dan Anak, Indikator Berkembangnya Budaya "Tega"?

5 Januari 2017   17:10 Diperbarui: 5 Januari 2017   22:27 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Maraknya kasus kekerasan pada perempuan dan anak telah lama menjadi keprihatinan banyak pihak. Miris rasanya setiap mendengar ada lagi kasus-kasus kekerasan pada perempuan dan anak di berbagai media. Masalah ini seperti tidak ada akhirnya. Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan kiriman video lewat salah satu group whatsapp saya, isinya sungguh memilukan, isinya rekaman penyiksaan yang dilakukan seorang ibu pada anaknya yang berdurasi hanya beberapa menit. Ingin rasanya saya menuliskan bagaimana perlakuan ibu tersebut di video itu, tapi jari saya tidak mampu untuk mengetikkannya.  Biadab..Tidak punya hati..Raja Tega..Tidak Punya Moral... Ya..Segala amarah ingin saya tumpahkan saat melihat video itu dan menonton berbagai kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang menghiasi pemberitaan di berbagai media.  

Keprihatinan terhadap kekerasan pada perempuan dan anak ini, membuat saya ingin lebih mempelajarinya. Ternyata bentuk kekerasan pada perempuan dan anak ini bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologi dan kekerasan ekonomi (termasuk penelantaran). Kekerasan pada perempuan dan anak ini juga dapat terjadi pada setiap fase kehidupan. Fase pertama dapat dimulai sejak dalam kandungan yaitu dapat berupa: pengguguran kandungan karena kehamilan yang tidak diinginkan atau karena seleksi jenis kelamin anak, siksaan kehamilan, kehamilan yang dipaksakan ataupun penelantaran gizi ibu hamil. Kemudian saat masih bayi kekerasan berupa bentakan yang terlalu keras, penyiksaan ataupun perbedaan perlakuan pada anak perempuan sampai pada tindakan jual-beli bayi. Fase berikutnya bisa terjadi di masa anak-anak, remaja, saat usia produktif, dan untuk kekerasan pada perempuan bisa terjadi sampai pada masa tuanya. 

Kekerasan pada perempuan dan anak ini bukan hanya urusan negara apalagi hanya urusan para pekerja sosial. Ini masalah bersama, bisa terjadi dimana saja, oleh siapa saja (bahkan oleh orang-orang terdekat kita). Setiap individu harus satu suara dalam hal ini: Tolak Kekerasan pada siapapun terutama pada perempuan dan anak, mengingat mereka ini lah yang sering menjadi korban kekerasan. Itu dulu yang harus ditekankan, tidak ada satupun alasan pembenaran yang bisa diterima untuk men"sah"kan terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak. 

Jika kita ingin mencari jalan keluar suatu masalah, hal tepat yang bisa kita lakukan adalah dengan mengetahui apa penyebab munculnya masalah tersebut. Ada beberapa hal yang sering menjadi penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak. Salah satunya adalah faktor ekonomi, himpitan ekonomi dapat menyebabkan orang stres dan melampiaskan amarahnya pada orang yang dianggap lebih lemah, termasuk perempuan dan anak. Disfungsi keluarga juga menjadi penyebab yang tidak dapat dianggap remeh. Disfungsi keluarga ini merupakan keadaan dimana sebagian atau semua anggota keluarga tidak mampu menjalankan peran yang tepat dalam keluarga, terutama orang tua. Misalnya, Bapak yang tidak bisa menjalankan fungsinya sebagi pemimpin keluarga yang mengayomi, Ibu yang tidak bisa menjalankan perannya untuk menjadi sosok yang membimbing dan menyayangi. Ketidakmampuan orang tua menjadi orangtua yang baik ini membuat keadaan dalam keluarga kacau dan memicu munculnya kekerasan dalam keluarga tersebut. Faktor berikutnya adalah kesalahan dalam cara mendidik anak, orang tua biasanya cenderung meneruskan kesalahan cara mendidik anak dari orangtuanya dulu. Orangtua yang dulu dididik dengan kekerasan kemungkinan menganggap mendidik dengan kekerasan itu hal yang wajar, dan kekerasan akan turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi.  

Namun dari semua penyebab munculnya kekerasan pada perempuan dan anak tersebut, yang penyebab utamanya adalah makin kurangnya pendidikan moral saat ini. Pendidikan di Indonesia selama ini masih mengesampingkan pendidikan moral. Pendidikan kita, baik yang diajarkan dalam keluarga, instansi keagamaan maupun instansi pendidikan, seharusnya mampu menciptakan pribadi yang bermoral, mandiri, dewasa, bertanggungjawab, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti yang luhur, berperilaku sopan dan santun, beretika, tahu malu dan tidak anarki serta mementingkan kepentingan bangsa dan negara bukan pribadi atau kelompok tertentu. 

Maraknya kasus kekerasan pada perempuan dan anak belakangan ini semakin menyadarkan kita bahwa saat ini kita tengah mengalami krisis akan nilai-nilai kebaikan yang mestinya sudah disadari secara kodrati sebagai manusia. Makin banyak orang yang tega melakukan kekerasan kepada orang lain. Makin banyak dan sangat banyak kasus yang muncul, seolah-olah akan mengkukuhkan "TEGA" sebagai budaya manusia jaman ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata tega/te·ga/ /téga/ adalah tidak menaruh belas kasihan; tidak merasa sayang (kasihan dan sebagainya); tidak peduli akan nasib (penderitaan) orang; sampai hati (sumber: http://kbbi.web.id/tega ). Itulah yang terjadi saat ini, sebagian manusia tidak menaruh belas kasihan kepada manusia lain, tidak merasa sayang (kasihan) pada orang lain, tidak peduli akan nasib manusia lain, sampai hati melihat orang lain menderita bahkan menjadi penyebab penderitaan bagi manusia lain. 

Ayo bersama kita akhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak,. Melaporkan jika kita mengetahui telah terjadi kekerasan pada perempuan dan anak adalah salah satu cara menghentikannya. Pendidikan moral harus digalakkan kembali baik di lingkungan keluarga, institusi keagamaan maupun dalam institusi pendidikan formal. 

Hentikan sifat "Tega" mulai diri kita sendiri.
Sifat "Tega" itu menular, maka sebelum dia benar-benar jadi budaya, HENTIKANLAH!!

Sifat "Penuh Cinta Kasih" itu juga menular, maka PUPUK dan SEBARKANLAH!!

 https://m.facebook.com/antoniamathilda?fref=nf 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun