Mohon tunggu...
Hikmatul Husni
Hikmatul Husni Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa PGMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Suka baca buat isi kepala, bukan buat direview, cuma dinikmati aja. Nulis di sini buat nyicil cerita dan pikiran yang kadang sayang kalau cuma dipendem sendiri. Lebih sering ngobrol sama buku daripada keramaian, sambil belajar jadi calon guru inspiratif di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Book

Zainuddin dan Hayati: Cinta yang Tenggelam Bersama Kapal Van Der Wijck

26 Mei 2025   20:32 Diperbarui: 26 Mei 2025   20:32 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck". (Sumber: Gramedia.com)

Ada cinta yang tumbuh diam-diam. Ada pula cinta yang diuji berkali-kali. Namun, yang paling menggores hati adalah cinta yang harus dilepas, meski saling menggenggam. Begitulah kisah Zainuddin dan Hayati dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebuah karya sastra legendaris dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih kita kenal sebagai Buya HAMKA.

Tentang Penulis dan Buku

HAMKA bukan hanya sastrawan, tapi juga ulama, pemikir, dan tokoh bangsa. Lahir di Maninjau, Sumatera Barat, ia dikenal luas melalui karya-karyanya yang tidak hanya menyentuh sisi batin, tetapi juga menggugah kesadaran sosial dan religius pembacanya. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck pertama kali diterbitkan tahun 1938 dan hingga kini tetap menjadi bacaan yang relevan lintas zaman.

Novel ini terinspirasi dari kisah nyata tenggelamnya kapal Belanda Van Der Wijck pada tahun 1936 di perairan Brondong, Laut Jawa. Namun HAMKA membingkainya dalam kisah fiktif yang sarat nilai budaya, kritik sosial, dan tentu saja---romantisme yang getir.

Sinopsis dan Ulasan Mendalam

Zainuddin adalah seorang pemuda berdarah Minang-Bugis yang merantau ke kampung halaman ayahnya di Batipuh, Sumatera Barat. Di sana ia bertemu Hayati, seorang gadis Minang yang lemah lembut dan memesona. Keduanya saling jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang karena Zainuddin dianggap "bukan orang Minang asli" dan tak punya darah keturunan yang dianggap murni secara adat.

Kisah cinta mereka kandas oleh kekakuan adat dan manipulasi orang-orang di sekitar, termasuk Khadijah-sosok yang turut membuat Hayati menjauh dari Zainuddin. Tak lama, Hayati dinikahkan dengan Aziz, lelaki kaya dan terpandang, namun tak memperlakukannya dengan baik.

Zainuddin pun pergi ke Surabaya, bangkit dari keterpurukan, dan menjadi penulis serta tokoh berpengaruh. Takdir kembali mempertemukan mereka, tapi segalanya sudah terlalu jauh. Hingga akhirnya, Hayati meninggal dalam kecelakaan tenggelamnya kapal Van Der Wijck---meninggalkan Zainuddin dengan kenangan, luka, dan cinta yang tak sempat utuh.

HAMKA tak hanya bercerita tentang cinta. Ia menyuguhkan pergulatan antara adat dan perasaan, modernitas dan konservatisme, serta bagaimana manusia seringkali tak berdaya di hadapan takdir. Namun di balik itu semua, ada nilai luhur tentang keikhlasan dan harga diri yang kuat.

Kelebihan dan Kekurangan Novel

Salah satu kekuatan utama dari Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah penggunaan bahasa yang begitu indah dan sarat makna. Hamka mampu merangkai kata dengan begitu puitis hingga membawa pembaca larut dalam suasana, seakan ikut merasakan pedihnya Zainuddin dan Hayati. Penggambaran tokoh juga sangat kuat, khususnya Zainuddin yang menjadi simbol perjuangan dan perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, terutama dalam konteks budaya Minangkabau saat itu.

Novel ini juga menawarkan kritik sosial yang tajam namun tetap elegan. Hamka tidak serta-merta menyalahkan adat, melainkan mengajak pembaca untuk merenung melalui kisah yang menyentuh. Di balik kisah cinta yang tragis, terselip nilai-nilai religius dan moral yang mendalam, menjadikan novel ini bukan hanya sekadar bacaan fiksi, tetapi juga bahan perenungan spiritual.

Namun demikian, beberapa tantangan juga ditemukan dalam novel ini. Penggunaan bahasa Melayu klasik dan istilah lokal khas Minang bisa menjadi hambatan bagi pembaca masa kini yang belum familiar. Di samping itu, alur cerita di beberapa bagian terasa lambat akibat penggambaran batin tokoh yang cukup panjang. Meski begitu, kekurangan-kekurangan ini tidak mengurangi kekuatan karya ini sebagai salah satu mahakarya sastra Indonesia yang abadi.

Pesan Moral dari Buku Ini

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tidak hanya menawarkan kisah cinta yang menyentuh, tetapi juga memuat banyak pelajaran hidup yang relevan sampai hari ini. Salah satunya adalah tentang bagaimana kita sebagai manusia diajak untuk tidak mudah berputus asa terhadap takdir Allah. Di balik ujian dan kesedihan, ada hikmah yang mungkin belum langsung kita pahami. Sebagaimana dalam firman-Nya:


"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(QS. Al-Baqarah: 216)


Tokoh Zainuddin juga memberikan inspirasi tentang semangat merantau, belajar, dan bangkit dari keterpurukan. Meski tak dianggap di kampung leluhurnya, ia tetap berjuang menegakkan martabatnya dengan cara yang bermartabat pula melalui ilmu dan karya. Bahkan ketika duka datang karena cinta yang tak direstui, ia tidak larut selamanya. Justru dari luka itu, ia menemukan kembali arah dan tujuan hidupnya.

Tak kalah penting, novel ini juga mengajarkan tentang makna sebuah persahabatan. Sosok Bang Muluk menjadi contoh bahwa kehadiran sahabat yang tulus bisa menjadi cahaya dalam gelapnya hidup. Dalam diam dan setianya, Bang Muluk memberi pelajaran bahwa dalam hidup, tidak semua pertolongan datang dari cinta, tapi bisa juga dari orang-orang yang diam-diam mendoakan dan mendampingi kita hingga akhir.

Tak semua cinta harus dimiliki untuk disebut abadi. Seperti Zainuddin dan Hayati dua jiwa yang saling mencintai namun tidak sempat bersatu karena takdir yang tak berpihak. Namun mungkin, cinta mereka tak benar-benar tenggelam bersama kapal Van Der Wijck. Mungkin, ia berlabuh di tempat yang lebih tenang di sisi Allah, tempat segala luka disembuhkan dan segala cinta yang tulus disempurnakan.


Karena pada akhirnya, takdir Allah selalu lebih bijak dari rencana manusia. Yang penting adalah ikhtiar, doa, dan keikhlasan seperti yang dilakukan Zainuddin, yang memilih untuk bangkit, berkarya, dan tetap mendoakan Hayati meski tak bisa memilikinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun