Mohon tunggu...
Hikmatiar Harahap
Hikmatiar Harahap Mohon Tunggu... Univ. al-Azhar Medan

Belajar, Belajar & Mendengar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perampasan Aset Koruptor dalam Perspektif Hukum Islam

5 Oktober 2025   13:47 Diperbarui: 5 Oktober 2025   13:47 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perampasan Aset Koruptor dalam Perspektif Hukum Islam

Oleh: Hikmatiar Harahap

Perlu dipahami bahwa dalam hukum Islam istilah yang memiliki pemaknaan langsung pada korupsi tidak dapati, melainkan beberapa istilah yang memiliki unsur ekspresi dan kesamaan perilaku yang mendekati pada perbuatan korupsi. Begitu juga perampasan aset koruptor, istilah tersebut juga tidak dijumpai namun ada makna yang lebih mendekati baik dari segi kesamaan perbuatan dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Jadi, untuk perampasan aset koruptor, pendekatan yang akan digunakan terdapat pada makna sebagai berikut:
Makna al-Sariqah dalam pendekatan aspek perampasan aset koruptor
Perampasan aset koruptor melalui pendekatan al-sariqah merupakan pendekatan yang sesuai melalui pemaknaan yang lebih mendekati, menurut Makhrus Munajat memberikan defenisi bahwa "pencurian merupakan satu tindakan atau perbuatan mengambil harta orang lain dengan diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya unsur memaksa".
Jadi, pencurian adalah tindakan mengambil barang atau harta yang bernilai secara diam-diam (sembunyi-sembunyi) dengan sadar untuk dimiliki, dikuasai baik secara sendirian atau bersama-sama dari tempat yang aman (terjaga).
Perbuatan al-sariqah telah diterangkan dalam Alquran surah al-Maidah: ayat 38 , merupakan perbuatan yang hukumannya berupa "potonglah tangan keduanya", maka muncul implikasi hukum berupa potong tangan, namun hal itu tidak berlaku di Indonesia, melainkan dikenai hukuman berupa penjara, bayar denda serta harta yang diambil dikembalikan. Perbuatan korupsi dan kaitannya terhadap perampasan aset koruptor sebagai hukuman tidak secara jelas termuat dalam dalil tersebut, melainkan dari sisi substansi bentuk sistemik bahwa al-sariqah dan korupsi berupa tindakan mengambil yang bukan hak, al-sariqah lebih dimaknai mengambil dengan cara-cara langsung, sedangkan korupsi tindakan modern melalui modus jabatan, kekuasaan erat kaitanya pada penyelengaraan negara yang berakibat korbannya adalah rakyat. Sebagai bentuk perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap bangsa dan negara, tentu dalil al-sariqah berupa hukuman potong tangan esensinya agar si pelaku tidak memiliki kesangggupan untuk mengulangi kejahatan (pencurian), begitu juga terhadap kasus korupsi dipandang sebagai sebuah pendekatan bahwa hukuman perampasan aset koruptor sebagai hukuman dalam kategori ta'zir yang menimbulkan efek jera, nilai pendidikan untuk menghalangi agar orang tidak ikut korupsi dan sebagai langkah efektif dalam pemberantasan korupsi.
Maka dari itu, dalam konteks yang lebih moderen dan maju yang sesungguhnya dikendaki oleh hukum Islam, bahwa makna al-sariqah harus diperluas, bertujuan agar lebih maksimal sehingga fenomena kejahatan yang efeknya dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan manusia bahkan negara. Maka bagi penulis sendiri, sudah menjadi kebutuhan mendasar bahwa al-sariqah satu sisi harus dipertegas dan diperluas maknanya berupa tindakan korupsi. Peletakkan makna ini, bukan semata-mata keinginan sesaat, melainkan sebuah respon serta kedaruratan, dan bahkan tidak berhenti pada saat sekarang, tentu kedepannya akan terus mengalami perkembangan serta perubahan untuk menjawab persoalan di semua kondisi.
Pemberantasan korupsi melalui perampasan aset koruptor sudah memiliki legal hukum di Indonesia, seperti dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta dalam Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menguatkan terkait perampasan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.
Semangat perampasan aset koruptor dalam hukum Islam berupa kewajiban pelaku untuk mengembalikan harta yang telah dikorupsinya. Sebagaimana yang terjadi masa Khalifah Umar ibn Khattab, membebaskan seorang budak yang melakukan pencurian dengan meminta tuannya untuk mengganti harga barang yang dicuri dengan 2 (dua) kali lipat.  Maka, nilai substansinya sama dengan perbuatan korupsi, semestinya hukum yang berlaku di Indonesia, sebagai suatu kekuatan hukum yang dapat menghadirkan efek jera. Kehadiran hukum Islam mesti dilakukan secara totalitas sebagai jalan dalam mengawal kehidupan dunia agar tumbuh dalam suasana keadilan agar terhindar dari nilai eksploitasi sesama manusia terutama korupsi.
Semangat al-sariqah kaitannya terhadap perampasan aset koruptor terkandung nilai berupa hifzul al-mal (tindakan menjaga harta berupa mengembalikan harta yang dikorupsi kepada negara), hifzul al-dawlah (tindakan menjaga negara berupa tidak terjadi kerusakan-kerusakan terhadap negara akibat dari perbuatan korupsi), serta untuk menjaga kemaslahatan bersama berupa nilai kesadaran dan penyesalan (efek jera). Kaidah fiqh:

 "Balasan sesuai jenis dengan perbuatan",

"Menolak kerusakan lebih diutamakan atas menarik manfaat"
Kaidah-kaidah tersebut aturan praktis dalam rangka untuk mempermudah pemahaman hukum, berupa seorang pencuri dikenai hukuman (hadd) berupa hilang tangannya, akibat mengambil harta orang lain, begitu juga, wajar kalau koruptor kehilangan asetnya akibat dari korupsi. begitu juga, kerusakan akibat perbuatan korupsi lebih besar efeknya, dari pada seorang koruptor memanfaatkan hasil korupsi untuk diri dan keluarga, maka perampasan aset bertujuan untuk menghadirkan kemaslahatan umum.
Maka dari pada itu, perampasan aset koruptor merupakan tuntutan untuk ditegakkan demi untuk keutuhan manusia dan negara. Dari kedua kaidah tersebut dipertegas bahwa;
Pertama, kewajiban untuk mencari harta yang halal lagi baik melalui jalan yang sah, serta melarang bentuk memperoleh harta melalui jalur yang batil berupa hasil korupsi, suap, menggelapkan, tipu-menipu, judi dan sebagainya. Panduannya termaktub dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 188  dan surah an-Nissa ayat 29 . Nilai-nilai yang ditekankan berupa kejujuran, keadilan, kebermanfaatan serta keberkahan, sehingga dari segala dan bentuk perbuatan diupayakan semata-mata demi untuk menjaga kepentingan bersama, bahkan untuk kemajuan dan pembangunan bangsa. Kedua, perampasan aset koruptor sebagai hukuman utama untuk mempertanggungjawabkan harta yang diperoleh melalui jalur korupsi dan pelakunya yang (ikut menikmati) melalui penelusuran oleh penegak hukum mesti mendapat hukuman berupa ta'zir (penjara), sebagai bentuk pembelajaran bagi orang lain, maka prinsipnya ganti rugi dan hukuman, hal ini sangat mendekati pada aspek nilai keadilan. Ketiga, aset-aset yang diperoleh melalui korupsi dampaknya menimbulkan kerusakan pada masyarakat dan membuat negara kebocoran pendapatan. Melalui perampasan aset koruptor, merupakan upaya yang mendatangkan manfaat untuk masyarakat dan negara. Untuk itu, negara mesti bertanggungjawab menjaga keuangan negara terhindar dari tangan-tangan koruptor. []

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun