Pasti kalian tidak asing dengan istilah kota. Secara etimologi kota berasal dari bahasa sansekerta Kotta atau Kuta yang berarti kubu atau perbentengan. Di zaman sekarang, sepintas dipikiran sebagian besar orang kota digambarkan sebagai pusat pemerintahan dengan bangunan tinggi dan alun-alun di bagian tengahnya. Sebetulnya hal ini tidaklah sepenuhnya salah, namun juga tidak dapat dibenarkan. Definisi yang diambil terlalu sempit dan hanya mencakup aspek fisik saja, sedangkan masih ada aspek lain yang harus dilihat dalam mendefinisikan suatu kawasan yang disebut perkotaan.Â
Menurut Permendagri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, kota didefinisikan sebagai permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan kekotaan.Â
Sedangkan perkotaan menurut Undang-Undang No. 24 tahun 1992 adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan agraris dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kabupaten Banyuwangi, meskipun berstatus kabupaten. Banyuwangi memiliki wilayah yang masuk dalam kategori sebagai kota. Empat kecamatan diklasifikasikan sebagai kota kabupaten yang mencakup kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Giri, Kecamatan Glagah, dan Kecamatan Kalipuro.Â
Kawasan Perkotaan Banyuwangi umumnya berbentuk memusat dan lebih kecil dari kecamatan lainnya. Berdasarkan data statistik luas empat kecamatan ini hanya mencapai 7,56 % dari total luas kabupaten. Bentuknya pun memusat di daerah utara kabupaten. Perbedaan yang mendasar lain dari Kawasan Perkotaan Banyuwangi dengan kawasan biasa adalah kepadatan penduduk. Kecamatan Banyuwangi dan Kecamatan Giri menempati peringkat teratas kepadatan penduduk di Kabupaten Banyuwangi dengan rata-rata 3928 dan 1493 penduduk per km².
Ciri lain perkotaan di Banyuwangi adalah luas lahan pertanian. Di kawasan kota sedikit sekali dijumpai lahan pertanian, malah terdapat banyak lahan kosong yang bisa memiliki nilai ekonomis bila dimanfaatkan. Lahan kosong ini biasanya dipatok dengan harga yang sangat tinggi ataupun sengaja tidak dijual karena spekulasi harga di masa depan. Akhirnya, pinggiran kota seringkali menjadi objek pembangunan pemerintah untuk melakukan pemekaran perkotaan.
Secara terus menerus suatu kota akan tumbuh dan mengalami perkembangan, baik dalam segi fisik, ekonomi, maupun sosialnya. Karakteristik kota dapat berubah dengan cepat dan pembangunannya akan lebih masif lagi. Hal ini tidak lepas dari pertumbuhan penduduk kota itu sendiri maupun arus urbanisasi dari tempat lain yang menyebabkan jumlah penduduk di kota semakin tinggi.Â
Imbas dari tingginya jumlah penduduk adalah ikut meningkatnya angka kepadatan penduduk. Dampaknya adalah peningkatan kebutuhan lahan baik untuk permukiman, sarana, prasarana, ruang terbuka, dan lainnya.Â
Isu ini juga menyebabkan permasalahan lingkungan semakin krusial. Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan terbangun dapat mengancam ketahanan pangan di Kabupaten Banyuwangi. Eksploitasi air tanah oleh masyarakat yang masih menggunakan sumur galian juga dapat mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas air, sehingga dampaknya menjalar pada ground sinking atau subsidensi tanah.Â
Masalah lain yang timbul akibat peningkatan permintaan lahan adalah persaingan antar individu/kelompok untuk mendapatkan sepetak lahan. Hal ini kadang dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu dengan menaikkan harga lahan secara tidak rasional yang berbuntut pada spekulasi harga tanah. Sehingga lahan akan dikuasai orang dengan ekonomi tinggi dan pendistribusian lahan untuk masyarakat kelas menengah kebawah tidak dapat dicapai.Â