’’Filosofinya, sekolah itu peradaban yang harusnya maju duluan. Kalau sekolahnya seperti itu, ya susah (untuk maju),’’
Kalimat di atas adalah pernyataan yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, di sela-sela kunjungannya ke Kementerian ESDM pada Jumat 20 Maret 2015 lalu. Kunjungan Anies beserta tim adalah dalam rangka meminta bantuan untuk mengatasi krisis listrik yang terjadi di tingkat pendidikan dasar hingga menengah seraya membawa data sekolah-sekolah di Indonesia yang belum teraliri listrik. Dari data yang dibawa, terdapat 17.520 sekolah yang belum tersentuh listrik. Ironisnya, tidak ada satu pun provinsi yang seluruh sekolahnya mendapat listrik (Jawapos, 21 Maret 2016).
Bisa dibayangkan, di era modern seperti sekarang, sekolah tanpa listrik bagaikan kehilangan berbagai metode pembelajaran. Alat peraga seperti Overhead Projector (OHP), LCD Proyektor, komputer, internet dan alat laboratorium sekolah memerlukan suplai energi yang tidak lain diperoleh hanya dari aliran listrik. Tanpa alat peraga seperti itu, kegiatan sekolah memang masih bisa berjalan hanya mengandalkan buku ajar, papan tulis dan kapur atau whiteboard. Namun jika dibiarkan lama, mindset siswa akan kurang berkembang karena banyak sekali ide yang dapat disampaikan melalui alat peraga. Hal ini akan berpengaruh kepada kemampuan siswa dalam menggali informasi hingga menyebabkan ketertinggalan dengan sekolah-sekolah lain. Selain itu, ketersediaan listrik di rumah juga berperan penting bagi kemudahan siswa mengulang pelajaran yang telah disampaikan di sekolah. Inilah salah satu faktor penyebab begitu banyaknya siswa dan mahasiswa berbondong-bondong ke Pulau Jawa untuk melanjutkan pendidikan.
Kondisi di atas adalah salah satu dari pentingnya listrik dalam kehidupan. Dan perlu diingat, baru salah satu. Masih banyak berbagai kegunaan listrik bagi kehidupan manusia di samping untuk menunjang sektor pendidikan. Beberapa di antaranya adalah dalam membangun sektor pariwisata melalui penerangan dan sarana penunjang lainnya, investasi, hingga produksi barang dan jasa baik skala kecil, menengah dan besar yang nantinya mampu menyerap tenaga kerja. Lebih jauh lagi, dengan pasokan listrik yang memadai, seluruh sektor yang dibangun pemerintah akan mampu beroperasi maksimal secara efektif dan efisien. Ujungnya, Indonesia akan memiliki daya saing di tingkat regional maupun internasional !
Terkait dengan hal tersebut, suplai listrik menjadi sebuah syarat mutlak dalam pembangunan nasional. Semua sektor yang ingin dibangun merupakan perwujudan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2015-2019 yang merupakan agenda besar Presiden Joko Widodo didukung Nawacitanya. Untuk kelancaran itu semua, perlu dilakukan identifikasi permasalahan listrik di Indonesia saat ini sehingga bisa dicarikan solusi agar semua sektor pembangunan dapat terwujud maksimal.
Mengenal Permasalahan Listrik saat ini dan Tantangannya
Apa yang anda pikirkan ketika mendengar berita “Orang Kaya menunggak listrik hingga 1,2 milyar” di Sukoharjo (Seputar Indonesia, 03/12/15). Selain itu, berita serupa seperti “Tunggakan listrik Masyarakat capai Rp 2 miliar” yang terjadi di daerah Painan dan Ranting Kambang, Sumatera Barat juga turut menghias media Padang Ekspress (28/01/16). Bahkan seakan tak mau kalah, Republika memuat berita “Tunggakan listrik PLN Palu capai Rp 78 Miliar”. Berita-berita di atas hanyalah sebagian kecil dari kerugian PLN yang diakibatkan pelanggan yang menunggak membayar listrik. Jika dikalkulasikan secara nasional, entah berapa triliun kerugian PLN akibat lemahnya kedisiplinan pelanggan dalam membayar tagihan listrik. Maka wajar saja jika PLN kini cukup gencar menagih pembayaran listrik kepada pelanggan hingga menimbulkan resiko bagi juru tagihnya, seperti pada berita “Nagih Listrik, Manager PLN di Madura 'Dibayar' Celurit“ (Tempo, 27/01/16).
Tidak banyak yang mengetahui hal di atas karena informasi yang banyak menghias media adalah kritik atas PLN terhadap pemadaman bergilir yang tidak hanya terjadi di pedesaan melainkan juga di perkotaan yang rasanya hampir 100% sudah tersentuh listrik. Belum lagi ditambah informasi dengan masih banyaknya wilayah Indonesia yang belum terjangkau listrik. Padahal jika ditelaah lebih mendalam dengan informasi yang berimbang, sumber dari berbagai masalah listrik yang ada adalah kerugian PLN akibat tunggakan listrik sistem pascabayar oleh pelanggan. Dengan tunggakan sebesar itu, rasanya wajar jika satu-satunya BUMN penyuplai listrik di Indonesia ini melakukan pemadaman bergilir agar operational cost tidak membengkak.
Sebagaimana kita ketahui, pada listrik pascabayar, pelanggan terlebih dahulu mengonsumsi listrik kemudian melakukan pembayaran berdasarkan pencatatan meteran yang dilakukan petugas PLN. Awalnya tidak ada masalah dengan sistem ini. Namun lama kelamaan muncul sebuah "resiko" yang tidak lain adalah penundaan pembayaran oleh pelanggan. Hal ini terjadi akibat semakin banyaknya pelanggan namun tidak diimbangi dengan juru tagih PLN dalam jumlah yang memadai. Sebagai gambaran, Data Statistik PLN menunjukkan jumlah pelanggan pada tahun 2014 telah mencapai 57,4 juta atau naik 6,30 % dari tahun 2013. Dengan jumlah pelanggan sebesar ini, pencatatan meteran oleh petugas yang datang ke rumah-rumah menjadi tidak sepenuhnya rutin. Kondisi ini makin memperparah ketaatan pelanggan membayar listrik dengan dalih biaya listrik per bulan yang tidak menentu bahkan seringkali membengkak pada saat tertentu. Fenomena ini pada akhirnya meruncing menjadi sebuah "masalah" berupa kerugian PLN yang tentu saja merupakan bagian langsung dari kerugian Negara.
Untuk menekan Kerugian Negara ini, perlu adanya solusi dalam rangka menutup permasalahan yang ada pada listrik pascabayar demi menurunkan frekuensi pemadaman bergilir sekaligus menunjang pemerataan listrik ke area pelosok Nusantara.
Listrik Pintar, Harapan baru Indonesia