Mohon tunggu...
Hidsal Jamil
Hidsal Jamil Mohon Tunggu... -

Hidsal Jamil, lahir di Karebbe, sebuah dusun kecil di Desa Laskap yang berada sekitar 10 km dari ibukota Kabupaten Luwu Timur (Malili) pada 9 Mei 1995. Pria yang sempat menjadi Alumni Terbaik di SMAnya ini adalah putra dari pasangan Jamil H Jafar dan Hamna Muhammad, anak ke-2 dari dua bersaudara. Kini sedang menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Ekonomi, Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis– Universitas Brawijaya, 2013. Meski sebelumnya sempat 3 kali tak diterima oleh salah satu perguruan tinggi negeri ternama di ibukota Provinsi Sulawesi Selatan itu. Kini aktif mempublikasikan tulisan di media kampus dan media massa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tahun 2014: ASEAN Economic Community dan Post-MDGs yang “Terlupakan”

28 Desember 2014   01:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:21 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_361954" align="alignnone" width="591" caption="Sumber: Penulis, AEC dan Post-MDGs"][/caption] ASEAN Economic Community (AEC) atau akrab ditelinga masyarakat dengan sebutan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 merupakan hajatan ekonomi terbesar se-Asia Tenggara yang akan segera dihelat. Pada tahun 2015, apabila AEC tercapai, maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih bebas diantara Negara ASEAN.[1] Dengan kondisi tersebut, tak berarti Indonesia sebagai bagian dari kesepakatan tersebut  bukan tanpa masalah. “Rezim Defisit” Neraca Perdagangan Defisit neraca perdagangan selama dua tahun terakhir masing-masing 1669,2 juta dollar AS pada tahun 2012 dan 4076,9 juta dollar AS pada tahun 2013 yang mana komponen minyak dan gas menyumbang defisit dominan dalam neraca perdagangan menjadi sebuah persoalan yang tidak mudah. Selanjutnya, menjelang akhir tahun 2014, kecenderungan defisit neraca perdagangan semakin menyeruak mengingat impor Januari–Oktober 2014 mencapai 149,70 miliar dollar AS, sementara ekspor tercatat sebesar 148,06 miliar dollar AS. Dengan begitu, terjadi defisit neraca perdagangan sebesar 1,64 miliar dollar AS serta neraca perdagangan pada November dan Desember tidak banyak berpengaruh signifikan mengoreksi neraca perdagangan.[2] Berikutnya, Perdagangan RI dengan negara-negara di kawasan ASEAN pada Oktober 2014 masih mengalami defisit sebesar 58,6 juta dollar AS. Secara kumulatif Januari-Oktober 2014, defisit neraca perdagangan dengan negara-negara di ASEAN mencapai 1 miliar dollar AS.[3] Dengan menengok situasi tersebut terdapat kekhawatiran bahwa dengan adanya ASEAN Economic Community 2015 malah berkontribusi dalam pembengkakan defisit neraca perdagangan akibat serbuan barang-barang serta produk dari negara-negara Asia Tenggara lainnya yang jika tidak diimbangi daya saing barang-barang dan produk dalam negeri, pada akhirnya Indonesia mau tidak mau harus memperbaiki kualitas barang-barang dan produknya sehingga dapat menyerap konsumsi domestik dan pengurangan konsumsi barang impor. Dengan perbaikan kualitas dan daya saing produk dapat mengubah “rezim defisit” neraca perdagangan. Daya Saing dan “Jebakan” Bonus Demografi. Indonesia dihadapkan dengan bonus demografi artinya penduduk dengan umur produktif sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak atau dengan kata lain proporsi angkatan kerja yang sangat besar. Meskipun demikian, bonus demografi sebagai jebakan atau bahkan menjadi sebuah malapetaka ekonomi tanpa ada perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dalam hal ini, perbaikan SDM Indonesia dapat ditempuh melalui jalur pendidikan. Ironisnya, tahun 2013, 28,3 % dari keseluruhan penduduk Indonesia masih berada dalam kondisi buta huruf.[4] Ditambah lagi berdasarkan laporan Global Competitiveness Report 2014-2015, dalam hal daya saing Indonesia (34) masih tertinggal ketimbang negara-negara  ASEAN lain seperti Singapura (2), Malaysia (20) dan Thailand (31).[5] Meskipun dalam hal pemenuhan pendidikan telah terlaksana. Akan tetapi, masih pula ditemui masalah pengangguran 7.244.905 jiwa per Agustus 2014 dimana yang menamatkan pendidikan pada jenjang universitas sebesar 495.143 jiwa dan diploma sebesar 193.517 jiwa yang dapat dikategorikan sebagai pengangguran terdidik atau intelektual.[6] Kedepannya pendidikan bukan hanya diarahkan untuk mencapai angka partisipasi pendidikan. Akan tetapi lebih dari itu, pendidikan harus bermuara pada peningkatan kualitas SDM. Peningkatan SDM dan keberhasilan suatu pendidikan indikatornya dapat diukur melalui tingkat penyerapan tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi pasar tenaga kerja dan pendidikan yang didesain melalui paradigma entrepreneurial orientation sehingga ikut menambah jumlah wirausahawan yang pada akhirnya memiliki dampak yang cukup besar dalam hal pengurangan tingkat pengangguran. Pengurangan tingkat pengangguran dapat berasal dari wirausahawan yang memiliki efek kaitan kebelakang (backward linkage effect) terhadap tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi dan tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi yang memiliki efek kaitan kedepan (forward linkage effect) terhadap pasar tenaga kerja dalam hal ini wirausahawan. GRAFIK 1. Fase Penanganan Pendidikan

Sumber : Telaah Penulis Paradigma Trial and Error Sebelum AEC, jauh sebelumnya liberalisasi ekonomi dimulai dengan hadirnya ASEAN sebagai Kawasan perdagangan bebas, dalam hal ini disebut AFTA (ASEAN Free Trade Area). Menurut Arief (1998), ada beberapa studi yang layak untuk diperhatikan mengenai dampak AFTA terhadap negara-negara ASEAN. Pertama sekali adalah studi-studi yang menunjukkan betapa negara-negara ASEAN sebetulnya tidak punya basis untuk dijadikan sebagai kawasan perdagangan bebas. Ini dibuktikan dengan relatif rendahnya apa yang disebut “reciprocal trade complementary index” dalam perdagangan di antara sesama negara ASEAN (lihat Ariff dan Tan, 1992 dan juga Semudram, 1992). Studi Amelung (1991) dengan menggunakan konsep functional region berdasarkan kerangka analisa yang disebut “hierarchial cluster analysis” juga menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN bukanlah merupakan negara-negara yang punya basis yang kukuh untuk dijadikan sebagai suatu kawasan perdagangan bebas atau kawasan integrasi perdagangan. Studi-studi ini menunjukkan bahwa orientasi perdagangan internasional setiap negara ASEAN lebih kukuh ke negara-negara di luar ASEAN (negara-negara Timur Jauh, Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara di kawasan India Selatan).[7] Berdasarkan jejak historis tersebut, hubungan antar negara-negara ASEAN pada umumnya dan Indonesia terhadap negara-negara ASEAN lain pada khususnya berdiri d iatas fondasi hubungan ekonomi yang rapuh. Hanya sebatas terkena syndrome latah, oleh karena berkiblat pada Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang notabene sebelumnya menerapkan kesepakatan dalam hal integrasi ekonomi. Sehingga, agenda Visi ASEAN 2020 yang kemudian dipercepat 5 tahun dalam wujud konkret AEC 2015 hingga saat ini belum menjadi sebuah hal yang urgen untuk menjawab permasalahan ekonomi setiap negara-negara ASEAN utamanya Indonesia. Kedepannya apabila AEC 2015 terealisasi, harapannya tidak mengikuti jejak buruk Krisis Yunani yang merupakan koridor MEE yang dikiblatkan tidak  terjadi pada negara-negara ASEAN yang tergabung dalam AEC 2015 serta tidak lagi menjerumuskan ingatan untuk flashback pada krisis ekonomi Indonesia  medio 1998 dimana bermula dari terdepresiasinya Baht (mata uang Thailand) yang diikuti pula Rupiah. Dengan kata lain “pesta ekonomi” , Asean Economic Community, tak berujung pada paradigma “Trial and Error” sehingga tidak mengesampingkan tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam naskah kenegaraan yakni “maju, adil dan makmur”. Gelombang Post-MDGs Beberapa tahun terakhir ini, perhatian stakeholder Indonesia banyak terkuras dengan agenda persiapan AEC 2015. Padahal jauh sebelum ini  pernahkah kita melihat perkembangan Millenium Development Golds (MDGs) yang sebentar lagi berakhir di 2015, hampir bersamaan dengan dimulainya AEC? Apa yang telah terjadi dan apa capaian MDGs 13 tahun (2013) kemudian? Laporan PBB tahun 2013 tentang MDGs menyatakan kemiskinan ekstrem di tingkat global telah berkurang dari 47% pada 1990 menjadi 22% pada 2010. Capaian tersebut dipandang sebagai salah satu keberhasilan dari MDGs. Sayangnya, penurunan jumlah kemiskinan ekstrem tidak merata baik di antara negara, wilayah, dan kelompok sosial. Sementara itu, permasalahan ketimpangan (inequality) kembali muncul dalam perdebatan pembangunan.[8] Laporan PBB tersebut ikut diperkuat dari data perkembangan Indeks Gini (Indeks Ketimpangan) yang dirilis BPS yang mengindikasikan tren yang meningkat 5 tahun belakangan ini, dimulai dari 0,37 (2009); 0,38 (2010); 0,41 (2011); 0,41 (2012); dan terakhir 0,413 (2013)[9]. Tidak heran ketika fenomena diintegrasi sosial marak terjadi seperti beberapa waktu terdapat oknum di Papua bergejolak ingin memisahkan diri dari Indonesia. Menengok kelemahan tersebut, kelemahan-kelemahan yang melekat pada MDGs menjadi pertimbangan utama bagi penyusunan agenda pembangunan global yang baru (Agenda Pembangunan Pasca-2015 atau dapat pula disebut Post-MDGs)[10]. Setelah sebelumnya terdiri dari sembilan poin yang tercantum pada Millenium Development Golds 2000-2015 selanjutnya beberapa indikator tambahan berkaitan dengan (10) Good Governance dan kelembagaan yang efektif, (11) stabilitas dan masyarakat yang damai dan (12) lingkungan global yang memungkinkan dan katalisasi keuangan jangka panjang, keseluruhannya tercantum dalam Agenda Post-MDGs.[11] Dengan berkaca pada kondisi tersebut, Post-MDGs ibarat gelombang yang menerpa bersamaan dengan datangnya AEC, gelombang yang seolah luput dari pandangan para stakeholder yang menjadi gagasan yang jarang diperbincangkan. Top-Down ala AEC-MDGs Patut untuk dicermati baik AEC maupun MDGs memiliki sebuah kesamaan yang menonjol. Keduanya lahir dari proyek top-down, artinya agenda tersebut lahir dari kesepakatan para pemimpin negara, bukan rakyatnya.  Seperti yang dikemukakan Kishore Mahbubani dalam kaitannya AEC, “From its inception, the group has fundamentally been a top-down project, driven by the region’s leaders instead of its people”. [12] MDGs dinilai pula membutuhkan waktu yang lama untuk diseminasi dan implementasi.  Dengan kesamaan tersebut, kepemilikan multipihak begitu sangat rendah sehingga tak jarang beberapa dari orang-orang berpendapat keduanya sebagai agenda ambisius pemerintah saja, tanpa mendengarkan pendapat dari berbagai pihak di dalam negeri. Meskipun berada dalam kondisi tersebut, pemerintah wajib memberikan penjelasan bagi setiap warga negara Indonesia dan menghadirkan program-program yang melindungi kepentingan rakyat utamanya dalam hal kesejahteraan sosial yang menjadi fundamental goal bahkan sejak sebelum hadirnya kedua kesepakatan tersebut sehingga mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur seperti yang didengung-dengungkan pada teks kenegaraaan. Referensi: [1] Departemen Perdagangan Republik Indonesia. 2008. Menuju ASEAN Economic Community 2015. Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta [2] Badan Pusat Statistik RI. 2014. Nilai Ekspor dan Impor 1984-2013.  http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=08¬ab=1. 21 Desember 2014(15:25). [3]Suryowati, Estu. 2014. Neraca Perdagangan RI Kembali Surplus.  http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/12/01/1246277/Neraca.Perdagangan.RI.Kembali.Surplus.21 Desember 2014(15:34). [4] Badan Pusat Statistik RI. 2014 http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=28¬ab=1. 21 Desember 2014(17:17). [5] World Economic Forum. 2014. http://reports.weforum.org/global-competitiveness-report-2014-2015/rankings/.21 Desember 2014(17:22). [6]Badan Pusat Statistik RI. 2014. http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=4. 21 Desember 2014(17:53). [7] Arief, Sritua. 1998. Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia. Zaman Wacana Mulia. Bandung [8,9] Santono,Hamong. 2013.  MDGs dan Agenda Pembangunan Post 2015. INFID. Jakarta [10] Badan Pusat Statistik RI. 2014. Gini Ratio Menurut Provinsi Tahun 1996, 1999, 2002, 2005, 2007-2013. http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=6. 27 Desember 2014(15:35). Indeks Gini (Indeks Ketimpangan) memiliki besaran dari 0 -1. Apabila mendekati 0, berarti dalam hal ini alokasi pendapatan relatif merata, sedangkan apabila mendekati 1, maka dapat dimaknai sebagai alokasi pendapatan yang sangat timpang. [11]UN Foundation. 2014. Illustrative Goals and Targets. http://www.unfoundation.org/assets/images/blog/blog-kc-post2015.jpg. 27 Desember 2014(16:29). [12]Mahbubani, Kishore. 2014. Unlocking ASEAN’s Potential. http://www.project-syndicate.org/commentary/southeast-asia-economic-open-market-by-kishore-mahbubani-and-fraser-thompson-2014-12. 27 Desember 2014(16:29). Artikel ini dimuat pula di: http://blog.ub.ac.id/hidsaljamil/2014/12/27/tahun-2014-asean-economic-community-dan-post-mdgs-yang-terlupakan/ https://hidzalizal.wordpress.com/2014/12/27/tahun-2014-asean-economic-community-dan-post-mdgs-yang-terlupakan/ http://hidsaljamil.blogspot.com/2014/12/tahun-2014-asean-economic-community-dan.html

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun