Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mana yang Lebih Bermanfaat, Gaya Juri sebagai Hakim atau Motivator?

17 November 2018   04:23 Diperbarui: 17 November 2018   09:40 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.yorkmix.com

Dapur bukanlah tempat yang asing bagi saya. Sejak SD, saya sudah belajar memasak nasi pakai dandang, sehingga nasi harus dimasak setengah matang, lalu dikukus. Rice cooker masih menjadi barang mahal kala itu. Kompor juga pakai kompor minyak tanah. Masih lebih beruntung daripada pakai kayu bakar. Saya sering membantu orangtua di dapur dan saya menyukainya. Saya belajar memasak dari kedua orangtua saya. Jadi, saya agak heran saat ada orang mengatakan bahwa laki-laki sebaiknya tidak masuk dapur.

Keterampilan memasak menjadi bekal yang sangat berharga tatkala saya belajar di Belanda. Di negara maju, jasa sangatlah mahal. Sepiring nasi goreng bisa berkali lipat harganya dibandingkan dengan membuat sendiri. Ya... kalau di LN, jangan sedikit-sedikit di-kurs ke rupiah karena pasti lebih mahal. Cara paling tepat adalah dibandingkan peningkatan nilainya dibandingkan saat masih bahan mentah. Di situ akan terlihat bagaimana mahalnya harga sebuah jasa.

Kembali ke masalah masak memasak, saya sangat menyukai percobaan. Apakah selalu berhasil? Tidak! Tetapi saya belajar dari kegagalan saya itu dengan tetap memakannya sambil memikirkan cara lain yang mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik.

Salah satu kompetisi yang saya suka nonton adalah Masterchef. Saat masih di Indonesia, saya hanya bisa menyaksikan acara tersebut yang versi Indonesia tanpa bisa membandingkan dengan tampilan di negara lain. Namun, apa yang saya saksikan saat itu tidak membuat saya merasa nyaman. Saya merasa bahwa beberapa juri terkesan angkuh dan sok (mohon maaf). Apakah memang begitu gaya kompetisinya? Saya tidak tahu.

Beberapa tahun tinggal di Finlandia, saya mendapat kesempatan untuk menyaksikan Masterchef yang digelar di Australia, Amerika dan Kanada. Sebenarnya di Finlandia juga ada, tetapi saya kurang bisa mengikuti karena kendala bahasa.

Masterchef selalu menghadirkan 3 juri dengan latar belakang chef. Ini semacam standar penyelenggaran reality show ini. Melewati babak penyisihan, akan diambil beberapa calon yang akan mengikuti berbagai macam tahap. Peserta akan berkurang satu demi satu hingga akhirnya tinggal dua orang yang memperebut gelar sebagai Masterchef. Cara memulangkan peserta dilakukan dengan cara kompetisi memasak dengan tantangan.

Juri sebagai hakim

Gelaran Masterchef di Amerika dan Kanada menampilkan juri yang garang dan tidak segan untuk mengritik dengan pedas. Juri tampil sebagai seorang hakim yang "kejam". Memang tidak selalu demikian, tetapi sebagian besar yang ditampilkan adalah sosok yang keras dan seperti menang sendiri.

Akibatnya? Peserta juga tampil dengan gaya yang hampir sama. Saling kritik dan cerca terkadang muncul, bahkan dengan kata-kata yang tidak pantas.

Pernah dalam sebuah eliminasi di mana peserta diminta menggoreng telor ceplok tetapi tidak boleh gosong bagian pinggirnya. Telor ceplok yang tidak memenuhi syarat dibuang ke tempat sampah berikut dengan piringnya dengan cara dibanting. Apakah idenya untuk menunjukkan bahwa ini perlombaan serius? Saya tidak tahu. Saya hanya merasa aneh saja dengan cara yang ditunjukkan.

Saya langsung teringat pada gelaran Masterchef di Indonesia. Sebelas dua belas lah... Jurinya juga begitu. Komentarnya pedas. Kata-katanya tajam bak pisau filet.

Apakah ini salah satu cara membentuk seorang chef yang handal? Saya tidak tahu karena saya tidak punya latar belakang sebagai chef. Selain itu, saya juga belum pernah berkarir sebagai chef.

Juri sebagai motivator

Masterchef Australia tampil dengan gaya yang berbeda dari Amerika dan Kanada. Episode yang saya tonton sejak 2013 hingga tahun ini menampilkan sosok juri sebagai motivator. Saat ada peserta yang gagal menyajikan makanan yang dirasa kurang enak, bukan kritik pedas dan kata-kata tajam yang disampaikan. Juri memberikan motivasi dan kritik yang membangkitkan harga diri.

Saya belum pernah mendengar gaya kritik seperti yang ditampilkan di Amerika dan Kanada, juga di Indonesia, selama menyaksikan Masterchef Australia. Juri tampil sebagai teman yang mendukung, bukan sebagai hakim dengan palunya. Juri hadir sebagai motivator buat mereka yang down karena tidak teliti, teledor, dan sebagainya.

Pentutup

Secara pribadi, gaya juri sebagai motivator akan lebih bermanfaat bagi peserta lomba, apa pun lombanya. Peserta akan mendapatkan masukan yang membangun dan itu sangat bermanfaat untuk masa depannya. Juri yang tampil sebagai hakim yang keras, malahan akan menjadi kontra produktif.

Saya menyadari bahwa memang tidak mudah untuk tampil sebagai motivator saat menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Namun, itu adalah tantangan seorang juri. Memang lebih mudah untuk mengriktik dan marah, tetapi apakah kita akan memilih cara yang mudah dan bukan yang benar?

Saya pikir hal ini bisa diterapan juga di sekolah. Apakah guru memilih cara yang mudah saat menjelaskan kepada siswanya yang kurang mampu secara akademik? Ataukah, guru memilih cara yang benar walaupun itu lebih sulit? Apakah hasilnya berbeda? Jelas!

Saya pernah mengajar sebuah mata kuliah di sebuah universitas. Menurut rumor, ini adalah salah satu kuliah tersulit. Anehnya, mereka yang dianggap lemah secara akademik, mampu lulus dari kuliah ini dengan nilai yang di luar nalar, yaitu B+ atau A. Pernah saya mewawancarai mereka-mereka ini. Hasilnya mencengangkan! 

Perasaan dihargai menjadi sebuah motivasi untuk belajar dengan baik. Saya terus mengingatkan diri saya untuk menghargai mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh. Namun ini jangan diartikan saya memberikan mereka bonus nilai. Tidak! Nilai itu murni dari hasil ujian yang mereka kerjakan.

Demikian juga halnya dengan hubungan orangtua dan anak. Hubungan yang dibangun atas dasar motivasi akan menolong anak melihat potensi yang peluang yang ada di depannya. Di sisi lain, hubungan yang dibangun atas dasar penghakiman justru menciptakan generasi yang rapuh dan tidak berani untuk mencoba hal yang baru.

Salam kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun