Ketika mendapati senyum merah dari seorang nenek di desa, kita tidak sedang melihat sekedar gigi yang diwarnai merah. Namun kita sedang menyaksikan sebuah ekspresi tradisi kuno yang masih tersisa, yaitu menginang atau menyirih. Tradisi ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu, sebagai bagian dari warisan budaya masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Menginang atau menyirih merupakan tradisi mengunyah campuran daun sirih, pinang, kapur, yang sering juga dicampur dengan gambir dan tembakau. Tradisi ini dianggap sebagai kebiasaan yang mirip dengan makan camilan. Namun menurut sumber yang lain, menginang sama halnya dengan merokok, minum teh, dan kopi, sehingga lama kelamaan menjadi kebiasaan yang menimbulkan kesenangan dan sulit untuk dilepaskan.
Waktu kecil, saya paling suka melihat nenek saya menginang atau menyirih. Saya masih ingat, nenek selalu menyimpan bahan-bahan perkinangan di sebuah kotak bersekat. Begitu melihat nenek mengambil kotaknya, saya segera berlari membawa dingklik atau kursi kecil, dan duduk di hadapan nenek. Nenek sudah hafal dengan kebiasaan saya ini. Sepertinya dia pun senang ditungguin cucu terkecilnya ketika menginang. Bahkan, bila saya sedang tak nampak di hadapannya, nenek sering memanggil-manggil saya dulu sebelum mulai menginang.
"Nduk, eyang ti arep nginang ki lho, ndelok ora? (Nenek mau menginang ini lho, ingin lihat tidak?)" teriak nenek kala saya belum muncul juga di hadapannya. Begitu mendengar nenek memanggil, saya seketika lari mengambil dingklik dan duduk manis di hadapan nenek seperti biasanya. Oh iya, saat menginang, nenek juga meletakkan sebuah guci di sampingnya, yang berfungsi untuk tempat meludah selama menginang.
Saya senang memperhatikan tahap demi tahap cara nenek menginang. Pertama nenek mengambil selembar daun sirih. Lalu ia meletakkan sedikit pinang, gambir, kapur sirih (injet), di atas daun sirih tadi, dan melipat-lipatnya hingga berukuran nyaman untuk masuk ke mulut. Nenek mengunyah-ngunyah paduan bahan tadi, sampai memerah mulutnya. Lalu ia mengambil susur tembakau dan menyisipkannya di antara gigi dan dinding mulut, sambil sesekali menggosok-gosokkannya pada permukaan gigi. Itulah mengapa, secara filosofis, sebagian orang zaman dulu, memaknai menginang sebagai cara untuk menjaga diri agar tidak banyak bicara hal-hal yang tidak perlu. Dengan kata lain, menginang dapat menjaga lisan dari ucapan yang tidak bermanfaat.
Tradisi menginang telah lama diyakini oleh banyak generasi di Indonesia sebagai salah satu cara alami untuk memperkuat gigi dan menjaga kesehatan mulut. Keyakinan ini berakar kuat, didukung oleh pengamatan banyak orang tua yang rutin menginang memiliki gigi yang masih utuh dan kuat, meskipun berwarna kemerahan. Selain itu, saya juga pernah membaca bahwa menginang juga dapat menyembuhkan luka di mulut dan menghentikan pendarahan gusi.
Pertanyaan saya untuk drg. Fery Setiawan
- Dok, benarkah menginang itu dapat menguatkan gigi, menyembuhkan luka di mulut, dan menghentikan pendarahan gusi? Jika benar, bagaimana penjelasan ilmiahnya ya dok dari sudut pandang kedokteran gigi?
- Dok, adakah risiko tersembunyi yang membahayakan kesehatan gigi dan mulut bagi orang yang rutin mengkonsumsi campuran daun sirih, pinang, gambir, dan kapur sirih?
- Dok, bisakah gigi orang yang gemar menginang (yang warna giginya menjadi merah kecoklatan) dibersihkan menjadi putih kembali di klinik gigi?
- Satu pertanyaan lagi ya dok, tapi tidak ada hubungannya dengan menginang. Saya punya satu gigi yang sudah rapuh dan habis tulang giginya, dan tinggal akarnya. Tapi tidak sakit dok. Apa yang sebaiknya saya lakukan dokter? Dibiarkan saja atau perlu ke klinik untuk dicabut akarnya dok?
Terimakasih sebelumnya dokter, salam hormat dan sukses selalu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI