Bercerita tentang air hujan membuat saya kembali bernostalgia pada balada kehabisan air di rumah, gara-gara ledeng mati. Waktu itu saya masih SMA, masih tinggal serumah dengan bapak, ibu, dan kelima saudara saya, di sebuah perumahan di Semarang. Kami memiliki bak tandon air yang tidak besar, sehingga apabila air ledeng mati, ditambah volume air tandon menipis, ya sudah.. hebohlah seisi rumah. Termasuk kelucuan ketika si pemakai kamar mandi selalu divonis menjadi tersangka pemboros air. Pokoknya, banyaklah romantika di rumah saat mendapati air berhenti mengalir dari kerannya.
Saya kurang tahu persis penyebab air ledeng di daerah kami sering mati kala itu. Saya pernah mendengar bahwa perusahaan penyedia air bersih sedang mengalami masalah terkait sumber air baku. Tapi bersyukurnya, kami cukup tertolong oleh penjual-penjual air bersih yang masuk ke perumahan ketika krisis air sedang melanda.
Suatu sore, hujan turun begitu deras di daerah kami. Air ledeng juga mati sejak pagi. Persediaan air di bak tandon sudah mulai menipis. Saya mulai tengak-tengok dari balik jendela rumah, berharap ada penjual air bersih yang lewat. Tapi sayangnya, tak satupun pedagang air bersih tampak beredar sore itu. Tiba-tiba saya mendengar suara gemerujuk nyaring air hujan jatuh ke ember. Saya lari ke belakang rumah, dan mendapati ibu sedang menadah air hujan dengan ember besar di halaman belakang. Spontan saya mengambil ember lagi, dan membantu ibu menadah air hujan lebih banyak.
"Air hujan dipakai untuk ngguyur kloset saja nduk, biar menghemat air di bak tandon," kata ibu mengisyaratkan sebuah keraguan terhadap kualitas air hujan. Sayapun demikian. Iseng-iseng saya mencoba cuci tangan memakai sabun, dan membilasnya dengan air hujan yang terkumpul di ember. Apa ini hanya perasaan saya saja atau bagaimana, rasanya sudah dibilas berkali-kali, tangan terasa masih ayit atau klinyit alias sabun masih terasa menempel di tangan. Lain dengan bilasan air ledeng atau air sumur yang langsung terasa bersih dan kesat. Mungkin ini karena kandungan senyawa yang ada dalam air hujan berbeda dengan air ledeng dan air sumur. Saya awam terhadap masalah perkimia-an air hujan. Sampai sekarangpun saya masih berpikir ketika hujan turun melewati udara di atmosfer, senyawa-senyawa yang nongkrong di udarapun juga akan ikut terangkut bersamanya. Dan pastilah ini berpengaruh pada kualitas dan derajat keasaman air hujan.
Memanen Air Hujan
Saya pernah membaca di beberapa laman tentang rain water harvesting (pemanenan air hujan) untuk atasi krisis air bersih dan untuk menghemat air tanah. Hati saya jadi meleleh mengingat saya dulu pernah memanen air hujan karena krisis air di rumah.Â
Memanen air hujan merupakan langkah hijau untuk menciptakan sumber air bersih alternatif di saat krisis. Langkah ini juga berdampak menghemat pemakaian air tanah dan mengurangi genangan air di permukaan tanah akibat hujan. Hujan bermanfaat pula membersihkan udara di atmosfer. Karena itulah kualitas udara mempunyai andil besar dalam menentukan kualitas air hujan yang turun. Air hujan dari hasil panenan sangat penting untuk diinventarisir penggunaannya, sesuai dengan kondisi dan keperluan di tempat masing-masing. Contoh untuk keperluan gardening, pertanian, perkebunan, kebersihan tempat tinggal, dan sebagainya. Tapi kalau untuk diminum atau dikonsumsi ke dalam tubuh, mungkin air hujan perlu proses pemurnian terlebih dahulu, mengingat sekarang ini kita ada di zaman aktivitas yang menghasilkan banyak buangan ke udara. Polutan yang berbahaya sangat memungkinkan untuk menjadi bagian dari kandungan air hujan yang dipanen.
Mengintip IPAH
Salah satu bentuk implementasi pemanfaatan air hujan adalah pembuatan Instalasi Pemanenan Air Hujan (IPAH) di perkampungan nelayan di daerah Tambak Lorok, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang. IPAH dibangun untuk menampung dan memproses air hujan menjadi air layak minum. Instalasi ini dibuat atas kerjasama antara warga dengan Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani dan Nelayan (LPUBTN) Keuskupan Agung, Indonesia Power UBP Semarang, dan Rotary Club Semarang Bojong.Â