Mohon tunggu...
Hesti Edityo
Hesti Edityo Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Seorang ibu dari 4 lelaki dan seorang guru Fisika yang menyukai sastra. hestidwie.wordpress.com | hesti-dwie.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maaf, Ibu Tak Menyambutmu di Gerbang Sekolah

23 Juli 2016   05:38 Diperbarui: 1 Agustus 2016   05:00 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari pertama sekolah, seringkali  memunculkan dilema orang tua yang berprofesi sebagai guru. Termasuk saya. Situasi sama yang dihadapi kala pembagian raport bagi yang bertugas sebagai wali kelas, ambil raport anak dulu atau bagi raport siswa dulu?

Tahun ajaran kemarin (2015), hari pertama sekolah menjadi ‘kenangan pahit’ untuk saya dan anak ke-3 saya, Fadhil, yang saat itu baru masuk SD. Ceritanya, saya yang baru saja mutasi ke tempat tugas saya yang sekarang, tak enak hati untuk ijin datang terlambat di hari pertama. Sementara sebagai seorang ibu saya punya kewajiban mengantar anak saya ke sekolah barunya hingga ke kelas. Anak saya bersekolah di SD negeri cukup favorit di tempat saya yang jumlah siswanya 900-an, hampir 1000. Jadi, bisa dibayangkan anak saya yang usinya 7 tahun saja belum genap, siswa baru pula, tentu belum paham situasi sekolahnya itu, dan mencari-cari kelasnya sendiri tanpa paham dia masuk kelas A, B, C, atau D.

Jauh hari sebelumnya, saya sebenarnya sudah membicarakan hal ini pada suami. Saya bilang pada suami, tak enak kalau di hari pertama sekolah (dan hari pertama saya mengajar di tempat tersebut) saya datang terlambat. Sementara harus ada yang mengantar anak saya di hari pertamanya sekolah sebagai siswa SD. Suami saya tak dapat berbuat banyak, dia sendiri juga tak bisa mengantar Fadhil karena bekerja di luar kota dan jatah cutinya habis.

Mau tak mau saya putar otak, mencari jalan agar anak saya ada yang mengantar, minimal sampai dia masuk ke kelasnya. Tak perlu sampai dia pulang, karena dia bisa pulang dengan kakaknya yang saat itu sudah duduk di kelas 3 SD. Adik sepupu saya. Nama itu kemudian yang terlintas di otak saya, karena dialah saudara saya terdekat dan kami tinggal di satu komplek. Adik saya menyanggupi saat itu. Oke, permasalahan beres. Saya bisa tersenyum lega. Anak saya pun setuju hanya diantar saya ke sekolah sebentar, dan urusan selanjutnya ditemani tantenya.

Malam menjelang hari pertama sekolah, adik saya mengabarkan kalau dia tak bisa ke sekolah anak saya pagi-pagi karena dia punya kewajiban untuk mengantar anaknya juga. Kebetulan keponakan saya memang tak satu sekolah dengan anak saya. Dia baru bisa ke sekolah Fadhil di atas jam 9. Galaulah saya seketika. Pembagian kelas anak saya dimulai sekitar jam 8 pagi, dan biasanya jam 9 semuanya sudah beres, anak-anak sudah ada di kelasnya masing-masing. Saya telepon teman yang staf tata usaha, saya mengatakan seandainya saya datang terlambat bagaimana? Teman saya justru menjawab, “Sebaiknya jangan datang terlambat karena ini hari pertama Mbak Hesti masuk di sekolah ini. Khawatir ada omongan guru baru tapi udah telat.” Huwaaaaa……makin galaulah saya dan air matapun merebak. Bingung dan bingung memilih antara mengikuti aturan sebagai guru atau memenuhi kewajiban menjadi Ibu.

Akhirnya saya memilih untuk datang ke sekolah tepat waktu (sedikit terlambat sebenarnya) dan hanya mengantarkan anak saya sebentar. Keputusan yang pada akhirnya saya sesali, meskipun saya sudah berusaha untuk menitipkan ke gurunya sesaat sebelum seluruh siswa baru diminta berkumpul di lapangan sekolah. Saya juga mewanti-wanti kakaknya, “Kamu nanti temani Fadhil, ya. Kalau ada pengumuman pembagian kelas dengerin baik-baik, Fadhil masuk kelas apa, kelasnya dimana. Kalau kamu bingung, tanyain ke gurunya. Ibu udah bilang ke Bu A (guru kelas dia sebelumnya), nanti kamu tanya ke Bu Guru, ya?”

Kenyataannya….. Meski kakaknya sudah berusaha menjalankan amanah dari saya, menemani dan mencari tahu kelas apa dan dimana, Fadil tetap saja bingung dan menangis di lobi sekolah. Usut punya usut, ternyata kakaknya hanya memberi tahu kalau dia masuk kelas B tapi tak menunjukkan dimana ruangan kelas B. Boro-boro mengantar, karena si kakak keburu masuk ke kelasnya sendiri. Beruntunglah ada orang tua siswa, Fayaz nama anaknya, yang dulu satu sekolah dengan Fadhil saat TK. Kebetulan pula anaknya satu kelas dengan Fadhil. Begitu siangnya saya mendengar laporan dari Fadhil maupun kakaknya tentang kejadian di sekolah selepas saya tinggal berangkat, saya termangu. Ya, Allah, membayangkan anak saya kebingungan sambil menangis sungguh menusuk hati. Apalagi esoknya saya kembali mendengar ceritanya dari mama Fayaz. Duuhh…..penyesalan mulai muncul dan sesal memang selalu muncul sesudah semua terjadi. Bahkan teman sesama guru yang juga punya anak seusia anak saya, menyayangkan keputusan saya yang memilih posisi menjadi “guru” dibanding menjadi “ibu”, di hari yang sangat penting untuk anak.

Saya tak ingin mengulang kesalahan yang sama tahun ini. Sedari jauh hari saya sudah mantap mengambil keputusan untuk mengantar anak-anak saya di hari pertamanya, terutama yang masih SD dan menemaninya sampai di kelasnya. Meski dua anak saya yang masih di SD bukan lagi siswa baru dan sudah mengenal lingkungan sekolahnya. Saya tak ingin peristiwa tempo hari terulang, karena anak ke-3 ini beda sifatnya dengan kakaknya yang cenderung cuek. Fadhil meski usilnya minta ampun di rumah tapi persis tumbuhan putri malu yang tersentuh tangan saat di luar rumah. Benarlah, saat saya mengantarnya kemarin dengan setengah panik dia tanya, “Ibu, ruang kelas aku dimana?”

Sempat salah satu teman saya berseloroh, “PNS boleh datang terlambat di hari pertama masuk sekolah, kecuali PNS yang berprofesi sebagai guru. Guru harus menyambut anak didiknya di gerbang sekolah, lho!”

Saya lantas menjawab, “Saya memilih jadi Ibu dulu, nganterin anak-anak ke sekolahnya, baru jadi guru setelahnya. Jadi, maaf saya tidak ikut menyambut para siswa di gerbang sekolah di hari pertamanya.”

Saya tahu sebagai seorang guru PNS mungkin saya berada dalam posisi salah, tetapi saya melakukan kewajiban saya sebagai seorang ibu. Anak didik saya di sekolah memiliki banyak guru yang menyambutnya, tetapi anak-anak saya hanya punya satu ibu, saya. Lagipula, anak didik saya yang notabene siswa SMA sudah jauh lebih dewasa dibanding anak saya. Masa orientasi siswa baru di SMA juga tak mutlak seluruhnya dibimbing oleh guru. Ada senior-senior mereka yang mendampingi, dan dijamin tanpa perploncoan sesuai instruksi Mendikbud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun