Mohon tunggu...
Hery Sinaga
Hery Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil

-Penulis konten -saat ini sedang suka-sukanya menggeluti public speaking -Sedang menyelesaikan buku motivasi -karya novel : Keluargaku Rumahku (lagi pengajuan ke penerbit)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keperkasaan Dolok Martimbang

16 Mei 2018   12:09 Diperbarui: 16 Mei 2018   12:29 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gagah berdiri tinggi menjulang seakan menggapai langit, begitulah terlihat sebuah bukit atau dolok yang ada didaerah tarutung ibukota dari sebuah kabupaten di tanah batak. 

Seakan bukit itu sedang memperlihatkan kepada siapapun yang melihatnya dan berkata " Hineni, (inilah aku). Deretan pegunungan berjejer mendampingi dolok yang menjulang tinggi itu, seakan-akan seperti seorang hamba yang sangat setia mendampingi tuannya kemana pun dan dimanapun berada. 

Jauh terlihat oleh mata, kita disuguhkan secara eksklusif pemandangan yang berderet pegunungan dengan dihiasi pohon-pohon yang mendiami deretan bukit itu tampak kehijauan. Seperti tidak pernah dijamah oleh apapun. 

Dolok Martimbang adalah nama yang disematkan kepada bukit yang menjulang tinggi itu. Entah dari mana dan siapa yang memberi nama itu kepada gunung itu. 

Dibawah kaki dolok martimbang itu, terhampar jalan beraspal mulus yang membelah dua tubuh dari bukit itu. jalan itu menjadi akses bagi siapapun untuk dapat menuju puncaknya. Jaraknya hanya sejauh mata memandang dari kota tarutung, kita sudah bisa melihat gagahnya dolok itu menjulang tinggi dari segala arah mata angin. 

Di dolok martimbang itu, keluarga pak Budiman pernah tinggal disana. Awal yang sulit untuk pertama kali ketika mereka memilih untuk tinggal disana yang bagi manusia sangat aneh untuk tinggal disebuah tempat yang tidak biasa bagi seorang manusia, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk manusia. Pasti menakutkan menyelimuti perasaan keluarga itu. 

Sebuah keadaan yang harus mereka terima. Matahari semakin meninggi, sinarnya semakin memanggang seluruh badan dari dolok martimbang. Sangat terasa waktu dia lalui, setiap saat dia melihat jam yang melingkar di tangan kirinya sudah menunjukan pukul 12.00 tepat. 

Dengan melihat keatas, matahari sudah berada tepat diatas kepalanya, sinarnya semakin panas dan menyengat. " mangalap gogo majo ". Ucapnya dalam hati. Selepas itu dia bergegas untuk beristirahat dan menghentikan pekerjaannya. 

Si bapak lalu duduk sambil memanggil istrinya untuk makan bersama-sama. Tak lupa mereka selalu berdoa terlebih dahulu setiap kali mereka mau makan. 

Kali ini tepat giliran si Bapak untuk membawa doa makan siang mereka. " Ale ama nami na dibanua ginjang, mauliate ma dipasahat rohanamai tu adopanmu ale Tuhan alani denggan basam na tongtong mangaramoti hami dibagasan hahipason sahat di tongani arion. 

Alani asi ni roham rade sipanganon dijolo nami ale Tuhan, pasu pasu maon gabe gogo tu daging dohot pamatang nami. Urasi hami sian saluhut dosa nami asa tama hami di jolom manjalao pasu pasu na siang Ho i, maulite ma di Ho ale Tuhan, dibagasan kristur jesus martangian hami, AMIN. ". Begitulah doa yang diucapkan dalam bahasa Batak Toba begitu hikmat terdengar meluncur setiap kata demi kata yang diucapkan oleh si Bapak dengan kerendahan hati kepada sang penciptanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun