Pengertian yang paling umum bahwa “Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang”. Salah satu yang membedakan lelang dengan penjualan biasa adalah pengumuman lelang untuk mengumpulkan calon pembeli sebanyak-banyakya. Untuk "barang" dalam hal ini adalah "Segala sesuatu yang bisa dijual atau hak yang dapat dijual", jadi dalam hal ini termasuk tapi tidak terbatas pada tanah, bangunan, kendaraan, mesin-mesin, barang-barang scrapt.
Sehingga yang dijual secara lelang dalam hal ini adalah barang bukan pekerjaan (tender proyek), namun dalam sehari-hari orang lebih mengenal lelang tender proyek pekerjaan dibandingkan dengan lelang barang. Lelang barang seiring perjalanan waktu mulai dikenal oleh masyarakat karena sosialisasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu RI.
Sejarah lelang di Indonesia dimulai ketika pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan tentang Lelang yaitu Staatsblad 1908 No.189 tentang Vendu Reglement, ini merupakan peraturan tertinggi untuk Lelang hingga saat ini sehingga Vendu Reglement dianggap sebagai Undang-Undang Lelang. Dalam prakteknya penjualan barang melalui lelang ini sudah dilaksanakan jauh sebelum tahun 1908 ketika jaman VOC. Setelah dikeluarkannya Staatsblad 1908 No.189 tentang Vendu Reglement dibentuklah Inspeksi Lelang yang berada di bawah Menteri Keuangan (Direktuur van Financient). Selanjutnya dibentuklah Inspeksi Keuangan (Direktorat Jenderal Pajak) yang di bawahnya terdapat unit Kantor Lelang Negeri (Vendu Kantoren) yang antara lain berada di Jakarta (Batavia), Bandung, Cirebon, Semarang, Jogyakarta, Surabaya, Makassar, Banda Aceh, Medan, Palembang.
Dalam perkembangannya, Kantor Lelang Negeri ini berubah nama menjadi Kantor Lelang Negara pada tahun 1970. Namun kemudian, yang semula di bawah Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 1990 diintegrasikan dengan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) yang kemudian pada tahun 1991 badan ini berubah nama lagi menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Dalam perkembangannya BUPLN ini berubah nama menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) pada tahun 2000, dan terakhir berubah nama lagi menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) pada tahun 2006.

Penjualan barang melalui lelang juga bisa dilaksanakan secara sukarela bukan karena hal yang wajib, sehingga penjualan barang melalui lelang merupakan "alternatif" yang bisa dilakukan selain penjualan secara konvensional. Dengan demikian "eksebisi" lelang secara sukarela merupakan salah satu potensi penjualan barang melalui lelang. Penjualan barang dengan lelang juga merupakan cara yang unik (berbeda), sehingga penjualan barang milik artis terkenal , pejabat pemerintah, publik figure, atau barang antik seperti benda kuno sangat efektif jika dijual secara lelang. Penjualan barang melalui lelang juga bisa dimanfaatkan sebagai media penggalangan dana (sosial), khususnya barang milik publik figure/ pejabat pemerintah yang sudah tak terpakai lagi hasilnya bisa digunakan untuk kegiatan amal sosial. Sehingga lelang bisa dijadikan alternatif untuk pilihan transaksi jual beli barang bagi masyarakat, karena memiliki prosedur yang jelas dan transparan apalagi dengan adanya lelang tanpa kehadiran via internet. Secara ringkas dalam hal ini, penjualan barang melalui lelang dapat dilakukan karena hal yang wajib (eksekusi) maupun hal yang sukarela (noneksekusi). Khusus untuk barang berupa tanah dan atau bangunan maka secara syarat administratif salah satunya harus dilengkapi dengan SKT/SKPT dari Kantor Pertanahan setempat, sehingga secara biaya pembuatan SKT/SKPT harus bisa dipastikan berapa besarannya agar tidak membebani pemohon lelang. Kepastian waktu (lamanya) penerbitan SKT/SKPT juga merupakan salah satu penghambat dalam proses pelaksanaan lelang sehingga perlu dicarikan upaya solusi nya. Sementara itu, tempat pelaksanaan lelang harus berada di wilayah kerja KPKNL atau wilayah kerja Pejabat Lelang Kelas II di mana barang berada. Pada masa sebelumnya khusus untuk barang bergerak, lelang dilaksanakan di lokasi di mana barang bergerak yang akan dilelang berada, namun sekarang tempat lelang mengacu pada wilayah kerja KPKNL/Pejabat Lelang Kelas II di mana barang berada, baik itu untuk barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Lebih lanjut untuk barang bergerak dengan limit (nilai minimal) di atas Rp 1Milyar maka penjual wajib mengadakan aanwizing yaitu memberi kesempatan kepada para calon peserta lelang untuk melihat barang. Jika calon peserta lelang tidak mengkuti aanwizing ini maka dianggap telah mengetahui kondisi barang.

Lelang dengan cara ini memiliki keunggulan dibandingkan lelang konvensional yaitu tanpa kehadiran peserta bisa menawar melalui komputer maupun gadget, lebih efisien karena tak perlu menyediakan tempat khusus, juga menjangkau peminat yang lebih luas. Sehingga dalam era digitalisasi seperti saat ini, lelang e-auction sangat sesuai untuk diterapkan, lebih praktis, menggapai peserta lelang yang lebih banyak. Lelang melalui e-auction juga dapat memperkecil potensi modus penipuan terkait lelang yang mengatasnamakan pejabat DJKN untuk janji memenangkan lelang, karena semua proses dilakukan secara online. Meskipun penipuan juga dimungkinkan melalui media online yang ada, dengan banyaknya sosial media yang ada saat ini masih mungkin terjadi dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Untuk penyempurnaan e-auction hanya perlu memperbaiki system aplikasi yang sudah ada sehingga lebih familiar untuk masyarakat pengguna lelang. Selain itu keamanan terhadap database dan keamanan transaksi harus terus ditingkatkan untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Kendala koneksi internet sebenarnya tidak terlalu bermasalah karena pada kondisi tertentu jika terjadi jaringan internet yang kurang baik, maka pejabat lelang dapat memperpanjang waktu penawaran dari yang sudah terjadwal. Namun untuk tujuan eksebisi (show), maka "lelang konvensional" sekali-sekali bisa ditampilkan kepada masyarakat, untuk bisa diketahui seni dan proses lelang.
Untuk mengikuti lelang peserta lelang wajib menyetor uang jaminan, yaitu sejumlah uang yang disetor kepada Bendahara Penerimaan KPKNL(Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) atau Balai Lelang atau Pejabat Lelang oleh calon Peserta Lelang sebelum pelaksanaan lelang sebagai syarat menjadi Peserta Lelang. Uang jaminan ini hanya berlaku untuk satu barang atau satu paket barang yang ditawarkan, sehingga dalam hal ini peserta lelang harus menyetor uang jaminan secara cermat. Dikecualikan untuk uang jaminan lelang ini tidak perlu, khusus untuk lelang kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama, atau lelang noneksekusi sukarela barang bergerak. Besarnya uang jaminan ini ditentukan paling sedikit 20% dari nilai limit dan paling banyak 50% dari nilai limit.
Dalam hal ini, uang jaminan bisa disetor melalui rekening maupun secara tunai, untuk secara tunai ada batasan maksimal jumlah yaitu paling banyak Rp20 juta sehingga jika lebih dari itu diwajibkan setor melalui rekening bendahara. Jumlah uang jaminan yang disetor juga harus sesuai dengan yang disyaratkan, tidak boleh kurang atau tidak boleh lebih. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dan perlakuan yang sama bagi peserta lelang bahwa jumlah yang disetor telah sesuai. Prinsip mengenal pengguna jasa (pembeli) sangat penting, khususnya dalam mengelola transaksi lelang dengan nilai yang cukup besar minimal Rp 100 juta yang meliputi identifikasi pengguna jasa, verifikasi pengguna jasa, dan pemantauan transaksi lelang. Sehingga sangat penting diperhatikan bagi Pejabat Lelang dan petugas terkait untuk menyempurnakan pelayanan pra lelang maupun pasca lelang untuk mengurangi resiko hukum yang mungkin saja terjadi dari pelaksanaan penjualan barang secara lelang. Prosedur lelang yang dipatuhi secara cermat dapat memperkecil potensi resiko hukum, khususnya meniadakan potensi gugatan dari pihak yang merasa keberatan dengan proses lelang. Syarat legalitas subyek dan objek lelang yang tidak sempurna kadang jadi sasaran gugatan oleh pihak yang tidak puas dengan proses lelang, sehingga bagi pejabat lelang harus hati- hati dalam memverifikasi berkas lelang. Syarat dan prosedure pengumuman lelang serta penentuan harga limit yang tidak sempurna, kadang juga masih menjadi sasaran objek gugatan oleh mereka yang tidak puas dengan proses lelang. Mitigasi resiko untuk proses lelang harus dilakukan untuk mengurangi potensi resiko hukum, apalagi jika potensi resiko tersebut dikait-kaitkan dengan "penyalahgunaan wewenang". Sebagian gugatan atas proses lelang ini memiliki "modus" untuk menghambat proses balik nama sertifikat yang dilakukan oleh si pembeli lelang di BPN, sehingga proses balik nama menjadi terkatung-katung.