Memasuki awal Tahun 2020, Republik Indonesia diterpa berbagai macam persoalan yang mendera. Mulai dari Bencana Banjir yang begitu sempat melumpuhkan Ibukota Republik Indonesia, Percikan perseteruan atas perairan Natuna Utara dengan Republik Rakyat Tiongkok yang selama ini disebut-sebut sebagai investor paling berpengaruh di Indonesia zaman ini hingga permasalahan-permasalahan lainnya termasuk masalah kemiskinan yang masih menjerat.
Maklum saja Indonesia masih harus merangkak untuk berdikari secara ekonomi sebagai jalan perjuangan bangsa ini.
Kemiskinan sudah menjadi persoalan yang kulturistik dan klasik bagi setiap negara khususnya negara-negara yang berkembang tanpa terkecuali Indonesia. Baik di Kota maupun di Desa, persoalan kemiskinan tidak akan dapat dihindari.
Permasalahan ini merupakan implikasi berkepanjangan dari tidak berimbanganya sisi keadilan sosial pasca begitu pesatnya akselerasi pembangunan nasional maupun perilaku destruktif di bangsa ini.
Upaya konstruktif dalam rangka pengentasan kemiskinan baik dari hilir hingga hulu dan sebaliknya terus digalakkan sebagai konsekuensi logis dari pertanggungjawaban negara secara konstitutif terhadap pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar. Belum lagi untuk mewujudkan tatanan masyarakat Pancasila yang menuntut terciptanya Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Ternyata karena mungkin pemerintah sibuk dalam mengimplementasikan visi dan misi pemimpin terpilih, selama ini negara hampir saja melupakan bahwa ditengah-tengah usaha untuk memajukan kesejahteraan umum tersebut terdapat salah satu keluarga yang terbilang masih jauh dari kata sejahtera.
Ironisnya, terdapat di Desa Cibening, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Bukan rahasia umum lagi bahwa Kabupaten Bekasi berada di kawasan yang sangat populis dipandang sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara serta termasuk dalam daerah penyangga ibukota negara. Kondisi ini pun akhirnya menampilkan sebuah paradoks tersendiri ditengah-tengah realitas yang terjadi.
Seolah menganggap bahwa hidup ini layak untuk diperjuangkan, pasangan Suami Istri: Acim (60) tahun dan Cicih (45) tahun warga RT 02/RW 06 Desa Cibening sekalipun ditengah keterbatasan mereka terus berusaha agar anak-anak mereka setidaknya tidak bernasib yang sama seperti kondisi sekarang dialami.
Pilunya kehidupan keluarga ini ditandai dengan keberadaan di sebuah gubuk sekitar pesisir pertanian di desa tersebut. Belum lagi penyakit diabetes dan darah rendah tak berkesudahan yang dialami Cicih terus memperparah keadaan keluarga ini.
Bahkan kadar glukosanya pernah mencapai 374 dari normal yang biasanya 140. Asalnya memang keluarga ini pernah tinggal dirumah saudara namun karena memiliki permasalahan dan takut merepotkan maka mereka diusir pergi.
Berdasarkan realitas bahwa ekonomi yang mencekik selama ini menyebabkan Acim nekat membuat gubuk di lahan pertanian milik desa setempat. Untungnya masih diberikan izin untuk mendirikan tempat tinggal Pondasinya bambu beratap asbes dan dinding berasal dari spanduk baik yang diberikan warga setempat maupun atas permintaan sendiri.