Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ashadi Siregar, dari Fiksi ke Fakta sampai Menolak Ayah

6 Juli 2025   18:49 Diperbarui: 7 Juli 2025   13:23 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ashadi Siregar bersama Kampus Biru Menolak Ayah/Foto: Dhanu Priyo Prabowo

Sabtu malam (5/7/2025) gedung Lembaga Indonesia Perancis (LIP) di bilangan Sagan Nomor 3, Yogyakarta, terasa sesak. Auditorium yang idealnya berisi seratus orang, pada malam pentas dramatic reading nukilan dua novel karya Ashadi, Cintaku di Kampus Biru (1972) dan Menolak Ayah (2018) dengan tajuk "Kampus Biru Menolak Ayah" dipenuhi kurang lebih seratus tiga puluh penonton.

Tidak mengherankan karena malam itu merupakan momen istimewa, memperingati delapan puluh tahun usia Ashadi Siregar. Lelaki yang meraih penghargaan sebagai Pemenang Harapan Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta (tahun 1972) lewat  cerita Warisan Sang Jagoan,  telah menulis dua puluh lebih karya sastra, empat di antaranya diangkat ke layar lebar: Cintaku di Kampus Biru (1976), Kugapai Cintamu, Terminal Cinta (1977), dan Sirkuit Kemelut (1980). 

Novel Cintaku di Kampus Biru semula berupa cerita bersambung dalam surat kabar Kompas (1972). Kemudian diterbitkan oleh PT Gramedia tahun 1974. Hal yang sama  terjadi pada novel Kugapai Cintamu dan  Terminal Cinta Terakhir. Kedua novel itu awalnya dimuat sebagai cerita bersambung dalam surat kabar Kompas dan mendapat sambutan hangat dari pembaca.

Ons Untoro menghargai Ashadi/Foto: Dhanu Priyo Prabowo
Ons Untoro menghargai Ashadi/Foto: Dhanu Priyo Prabowo
"Sastra Bulan Purnama merasa perlu membuat edisi spesial untuk menandai delapan puluh tahun usia Ashadi dengan satu peristiwa budaya, yakni pembacaan nukilan novel karya Ashadi Siregar, yang ditulis pada masa awal dan  akhir," ujar Ons Untoro.

Acara yang digagas oleh komunitas Sastra Bulan Purnama berkolaborasi dengan Freedom Institue, Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),   Perkumpulan Seni Nusantara Baca, dan beberapa institusi lainnya, diawali dengan sambutan Ons Untoro yang sekaligus memperkenalkan sosok Dedi Purwadi (lulusan Antropologi UGM, pemilik brand Batikjolawe).

Dedi membawa lukisan batik motif Bulaksumuran dengan pewarna alam. Malam itu Dedi menyerahkan lukisan batik penuh simbol. Lelaki yang selama sepuluh tahun bekerja di LP3J (milik Ashadi Siregar) menjelaskan bahwa berkat Cintaku di Kampus  Biru,  motif Bulaksumuran tercipta.

Bulaksumuran bukan motif UGM maupun Kagama. Motif Bulaksumuran lebih menorehkan   pesan bahwa warga Bulaksumur diharapkan menjadi orang berlaku baik, sarwa becik. Bisa menerangi (handamari),  mencerahkan, dan menjalani saptaresi (cemara tujuh) untuk tidak bermewah-mewah,  tidak mengambil hak orang lain. Semua itu tidak lepas dari pitulungan dan pitutur yang diwakili oleh garis lengkung tujuh, tergambar di lukisan.

Motif Bulaksumuran/Foto: Dokpri Hermard
Motif Bulaksumuran/Foto: Dokpri Hermard
Dalam pengantar acara malam itu, Ashadi Siregar menyatakan bahwa tiap kali orang memberi penghargaan terhadap novelnya, ia jadi ingat kalau proses menulisnya  tidak niat banget. Herannya kok ujung-ujungnya malah  mendapat penghargaan.

"Banyak kehidupan saya yang dijalani tidak begitu niat, kecuali untuk menjadi wartawan. Itu niat betul, malah nggak kesampaian. Jadi ya begitulah nasib, yang diniati tak kesampaian, yang tak diniati malah dirayakan orang," kelakar Ashadi disambut tepuk tangan hadirin.

Baginya, semua memang harus dijalani, disyukuri. Karena pada dasarnya ia menulis novel sebagai suatu kecelakaan saja. Bahkan novel-novel yang ditulis pada era 70-an, boleh dibilang lebih bersifat by-accident, akibat mengalami kesulitan untuk menulis artikel dan karya jurnalistik lainnya di media pers umum, setelah diadili dan divonis bersalah dalam perkara penghujatan Suharto.

Tidak  jadi wartawan, padahal seluruh tradisi akademiknya adalah menghadapi fakta, realitas, bukan fiksi.  Ia membaca fiksi seadanya saja karena waktu SMA masuk bagian Paspal (IPA). Jadi tidak ada keseriusan  membaca sastra. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun