Paparan di atas merupakan cerita kenangan masa lalu, saat rumah panggung dengan dinding papan, atap daun nipah, drum-drum besar penampung air hujan masih berjaya.Â
Saat itu rumah penduduk jaraknya  berjauhan karena masih banyak tanah kosong, alat transportasi darat hanya ada becak samping, masyarakatnya begitu homogen, dan mata pencarian terbatas pada berdagang, bertani, dan nelayan.
Kini semua telah berubah. Usaha perbankan, pariwisata, budi daya burung walet, kuliner, bertumbuh dengan gegap gempita.Â
Transportasi Jambi ke Kuala Tungkal pun tidak lagi sepenuhnya tergantung pada transportasi (kapal) laut, tetapi sudah ada jalan darat yang cukup memadai.Â
Jika menggunakan kapal laut perjalanan ditempuh selama sehari semalam, maka (kini) dengan mobil pribadi, perjalanan Jambi-Kuala Tungkal, hanya ditempuh dalam waktu tiga jam perjalanan.Â
Keberadaan jalan darat yang menghubungkan Jambi -- Kuala Tungkal dan keberadaan pelabuhan Marina yang membuka akses ke Batam, Singapura, dan Malaysia, menyebabkan perekonomian terus bergerak dan pembangunan rumah, gedung-gedung tinggi tak terhentikan, sehingga sekarang Kuala Tungkal dipenuhi deretan bangunan rumah beton.
Pertanyaannya, setelah lima puluh tahun lebih saya tidak pernah pulang ke Kuala Tungkal, apakah tradisi hantaran berbuka puasa dan bersih-bersih rumah masih mampu dipertahankan?
Jangan-jangan dua tradisi itu telah bertransformasi atau justeru membusuk bersamaan dengan perkembangan pesat Kuala Tungkal?
Dalam konteks ini, saya teringat kembali lontaran gagasan  Umar Kayam:  transformasi menunjukkan bahwa masyarakat, dibayangkan pada suatu masa, pada suatu ketika, berubah atau menghendaki perubahan yang berakhir (sementara) dengan suatu status transformasi.Â
Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa cepat atau lambat serat-serat budaya yang menyangga anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat (termasuk masyarakat Kuala Tungkal) pada suatu saat bisa saja meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa acapkali tradisi tergerus oleh perkembangan zaman, pembangunan, dan kemajuan teknologi/mekanisasi.Â