Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni

Membaca Pemikiran Krishna Mihardja lewat Karya Sastra

3 Januari 2023   17:40 Diperbarui: 3 Januari 2023   17:46 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa pemerintahan Orde Lama selalu diidentikan dengan  merajalelanya korupsi, cepatnya laju pertambahan penduduk; berakibat pada banyaknya pengangguran, merebaknya tindak kejahatan, dan tidak tercukupinya persediaan pangan. Di sisi lain, Orde Baru dikaitkan dengan program pembangunan, perbaikan, dan pengentasan kemiskinan. 

Ricklefs (1995) menandaskan bahwa sejak semula pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto berupaya menjalankan kebijakan stabilisasi dan pembangunan ekonomi serta menyandarkan legitimasi pemerintah pada kemampuan memajukan kesejahteraan sosial .

Cerkak "Horn" mengisahkan kegigihan kepala desa Jayareja (direction) memasang horn (pengeras suara) di wilayahnya dengan tujuan mempermudah masyarakat mengatasi berbagai persoalan. Di balik tujuan "mulia" tersebut sesungguhnya tercermin keinginan Krishna Mihardja menggambarkan upaya kepala desa mendepolitisasi suara masyarakat, menenggelamkan identitas masyarakat, memperlihatkan ketidakberdayaan masyarakat melakukan koreksi terhadap pelaksanaan pembangunan karena adanya domination.

Dalam realitas Orde Baru (Zaini Abar),  informasi-informasi pembangunan dalam masyarakat didominasi oleh informasi-informasi  bersumber dari birokrasi pemerintah melalui retorika-retorika politik  meninabobokan. Pemerintah dan aparatnya (direction) melembagakan diri sebagai satu-satunya sumber informasi pembangunan (domination); sedangkan informasi-informasi faktual, objektif,  dan alternatif dari masyarakat cenderung diminimalisir dengan alasan demi stabilitas pembangunan. 

Hegemoni dilakukan dengan konformitas melalui penekanan dan sanksi-sanksi  menakutkan; masyarakat menyesuaikan diri dengan keinginan direction karena takut akan konsekuensi-konsekuensinya. Pemerintahan Orde Baru anti terhadap kontrol, tidak mampu  berhadapan dengan kritik   objektif dan rakyat tidak dianggap sebagai subjek yang menjadi protagonis  dari kehidupan mereka sendiri.

Dengan demikian---dalam dinamika politik Orde Baru---keberadaan rakyat benar-benar menjadi objek kekuasaan. Kecenderungan yang menyertai adalah tumbuhnya sikap fatalistik masyarakat. Pada tataran ini teralienasinya masyarakat terlihat dari ketidakberdayaan mereka  melakukan koreksi terhadap pelaksanaan pembangunan yang menyimpang karena adanya dominasi direction.


Perlu diingat kembali lontaran gagasan Budiawan  bahwa dalam konteks Indonesia Orde Baru, negara  (state) dan pembangunan (development) merupakan dua hal  yang sulit dibedakan; sebab pembangunan hadir melalui kekuasaan negara dan kekuasaan negara hadir melalui pembangunan---pemerintah  selalu meletakkan sesuatu di bawah kepentingan "pembangunan". Pemerintah Orde Baru mempunyai kemampuan penetrasi yang besar  dan dominan sehingga dapat mengendalikan hampir segala sisi kehidupan masyrakat. Dominasi terhadap  partisipasi masyarakat dapat dicermati lewat "Horn".

Secara signifikasi "Horn" mengabstraksikan bahwa direction memiliki power   sangat besar, dapat memaksakan kehendak kepada klas yang dikuasai. Dalam konteks ini, hegemoni Gramsci tercermin dengan kesediaan masyarakat menyesuaikan diri karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan direction dengan cara-cara tertentu.  

Konformitas dalam hal ini merupakan partisipasi yang tidak terefleksikan dalam bentuk aktivitas  tetap, sebab masyarakat menganut pola-pola tingkah laku tertentu dan jarang dapat  menolak.

Kepercayaan dan "pemuliaan" terhadap teknologi canggih (horn) pada akhirnya menciptakan situasi pelecehan-pelecehan  terhadap nilai-nilai romantisme dan intuisi-intuisi tradisional yang semula diakrabi oleh klas yang dikuasai.
Krishna Mihardja memperlihatkan bagaimana masyarakat diarahkan  kepada titik depresi dengan adanya upaya penyeragaman suara lewat horn. Penyeragaman tersebut berupa pengedepanan retorika-retorika pembangunan yang ekspansif guna mengakumulasikan loyalitas masyarakat. Artinya, direction melakukan dominasi secara sistematis.

Matinya Pakde Darmo Karsi (demokrasi) dalam "Horn" merupakan pasemon  ironis bagi dominasi kekuasaan (direction) di desa Jayareja. Kekuatan yang begitu besar berubah menjadi sosok yang tidak jelas: kepala desa maupun  masyarakat Jayareja tidak mengenal dengan baik siapa demokrasi. Di bagian akhir cerita, Krishna Mihardja mengisyaratkan bahwa "Horn" merupakan wacana/hipotesis mengenai dua fenomena pembangunan Orde Baru, yaitu peniscayaan pembangunan dan dominasi negara atas masyarakat.

Krishna Mihardja, dalam beberapa tulisannya mencoba menggambarkan potret kehidupan sosial yang lucu dan menyebalkan agar pembaca memperoleh pencerahan atas gelapnya Orde Baru.

"Bagi saya, Orba adalah lelucon-lelucon yang inspiratif untuk dijadikan tulisan. Saya pernah diuber-uber (wong mbuh sapa---tidak jelas siapa oknumnya) hingga ke  sekolah tempat saya mengajar. Itu terjadi hanya karena menulis cerpen di koran Berita Nasional. Bagaimana, sungguh keterlaluankan Orba itu? Tapi tetep menyenangkan karena banyak ide-ide yang saya dapat dari sana," jelas Krishna Mihardja ketika diwawancarai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun